Skip to main content

PARADIGMA DARAH

Paradigma Darah

Oleh Bashori Muchsin

BENAR kata Jati Diri Jawa Pos (15/4), rezim sekarang masih mengulang model (paradigma) pendekatan represif atau penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik antara elite (korporasi) dan "wong alit". Mereka (elite kekuasaan) belum belajar sungguh-sungguh dari rezim Orde Baru (Orba) yang 30 tahun lebih menempatkan pendekatan represif atau militeristis sebagai opsinya.


Di rezim Orba itu, jangankan sampai melakukan perlawanan masif, baru bersuara kencang atau kritis dalam menolak kebijakan yang diproduk oleh negara atau korporasi besar yang berlindung di balik "ketiak" negara saja, mereka sudah dicap atau diberi label sebagai pemberontak. Bisa juga, pengganggu keamanan nasional, penghalang pembangunan, penyakit yang mengancam stabilitas, kelompok yang terlibat OTB (organisasi tanpa bentuk), atau elemen masyarakat yang berdiri vis-a-vis dengan negara.

Karena paradigma represif yang berdalih negara selalu benar, rakyat di rezim Orba itu akhirnya kehilangan keberanian jika harus berhadapan dengan negara, korporasi yang berelasi dengan keluarga rezim, atau pilar-pilar proyek-proyek yang membawa bendera pembangunan nasional. Rakyat dikondisikan memilih diam, mengamini, atau menyerah dalam budaya bisu (silent culture). Sampai akhirnya, era reformasi bergulir yang dipopulerkan sebagai kemenangan transparansi, kebebasan, keberanian, egalitarian, dan model-model gerakan berbasis kerakyatan (kemasyarakatan).

Sayang, meski babakan sejarah reformasi terus bergulir, mentalitas dan pembelajaran gaya lama masih bertahan. Berbagai virus yang sudah sekian puluh tahun menjangkiti elemen birokrasi atau pengggawa negeri tidak otomatis lenyap atau sembuh seketika. Tak sedikit di antaranya yang masih terkerangkeng mempertahankan atau belum mau bercerai dengan penyakit mentalitas represif dan dehumanistis yang ditahbiskannya. Mengapa penyakit itu dipertahakan? Tidak cukupkah kekuatan reformasi mengajak kelompok berpenyakit itu menyembuhkan dirinya?

Ada dua hal yang bisa digunakan untuk mengurai persoalan tersebut. Pertama, model birokrasi (kekuasaan) yang masih memberlakukan pola patronase atau pertuanan, yang menempatkan pimpinan sebagai pemegang kunci utama yang membuat anak buah atau elemen di bawahnya kesulitan membangun relasi bercorak inklusivitas.

Dalam ranah itu, anak buah yang umumnya bergerak di lapangan sekadar menjadi mesin. Mereka terikat dalam regulasi yang dibingkai oleh kultur yang mencengkeramnya bernama sabdo pandito ratu. Ketika bertugas di lapangan, misalnya, mereka hanya mematuhi peran monologis seperti "sekadar menjalankan tugas", "sudah sesuai dengan perintah atasan", atau "sejalan dengan protap (prosedur tetap)".

Kalau doktrin tersebut dilawan atau ditolak, atasan/pimpinan memperlakukannya sebagai anak buah yang bertipe membangkang, tidak loyal, dan tidak mengerti aturan. Akibatnya, saat menjalankan tugas di lapangan, mereka lebih takut melawan doktrin eksklusif dan despotisme yang diberlakukan oleh atasannya daripada takut menghadapi perlawanan masyarakat.

Mereka mengambil opsi menggunakan paradigma "darah" daripada karir di lingkaran rezim berakhir. Opsi demikian memang berisiko dilematis. Di satu sisi harus menghadapi medan tugas yang mempertaruhkan nyawa dan masa depan karirnya sebagai penggawa, di sisi lain harus menghadapi keberanian masyarakat yang tak gentar jika darahnya tumpah demi mempertahankan hak-haknya.

Sudah banyak hasil penelitian terdahulu di berbagai negara yang mendeskripsikan titik relasional antara perlawanan dan kebijakan atau perlakuan pemerintahan lokal. Antara lain, Bettina Kohler dan Markus Wissen dalam penelitianya yang berjudul Globalizing Protest: Urban Conflicts and Global Social Movements yang diterbitkan dalam International Journal of Urban and Regional Research Publishing USA (2003) menyebutkan, kebijakan untuk mengatur kehidupan perkotaan ditengarai sarat dengan konflik. Konflik sosial yang berkenaan dengan pembangunan kota dan perluasan kawasan bisnis dalam pendekatan politik sebagai pertentangan globalisasi neoliberal dijadikan risiko wajar oleh pemerintah.

Itu menunjukkan bahwa perlawanan masyarakat memang tidak lepas dari konteks kebijakan pemerintahan lokal yang tak adil atau tak membahasakan kepentingan riil masyarakat. Kebijakan pemerintah itu telah menjadi bagian dari "suhu panas" yang menyulut lahirnya perlawanan.

Kedua, elite kekuasaan atau pucuk pimpinan yang masih memperlakukan subjek korporasi atau pemilik modal sebagai elemen elite yang diutamakan (diistimewakan). Sementara itu, masyarakat atau sekelompok orang yang berkonflik dengan elite diperlakukan sebagai "warga kelas dua" (underprivilege).

Pengistimewaan elite itu terkait dengan kontribusi elite ekonomi atau pemilik korporasi yang dianggapnya telah berjasa dalam menjalankan proyek-proyek besar, yang notabene memberikan konstribusi dalam menjaga keberlanjutan atau peningkatan pendapatan daerah maupun "pendapatan" individu atau sejumlah elite struktural.

Bukan rahasia lagi kalau sejumlah dunia usaha atau korporasi memberikan fee kepada pucuk pimpinan (elite kekuasaan). Kasus ditemukannya fee dari bank daerah senilai miliaran rupiah yang beberapa waktu lalu dipersoalkan mengindikasikan bahwa dalam kasus korporasi, juga terjadi masalah yang sama.

Paradigma elite kekuasaan yang memihak elitisme ekonomi yang berbasis ketidakadilan dan diskriminasi tersebut layak digolongkan sebagai paradigma berdarah. Pasalnya, lemahnya kepekaan atau ketidakpedulian elite kepada wong alit jelas dapat menstimulasi lahirnya dan meledaknya perlawanan, chaos, atau radikalisme sosial.

Kalau kasus Tanjung Priok tidak ingin terulang atau meledak di kawasan lain, reformasi paradigma kekuasaan elite yang berhubungan dengan elitisme ekonomi dan budaya internal menjadi keharusan yang sangat mendesak. Kecuali elite-elite kekuasaan negeri ini memang ingin mempertahakan atmosfer "daruratisme" terus berlangsung. (*)

*). Prof Dr Bashori Muchsin MSi , guru besar dan pembantu rektor II Universitas Islam Malang


Comments

Popular posts from this blog

APAKAH TELUR NAJIS

Apakah Telur Najis oleh: Kholil Misbach, Lc Ada pertanyaan dari kawan tentang kenajisan telur hal itu dari artikel yang ia baca dalam sebuah postingan blog, dalam postingan tersebut menyatakan bahwa telur adalah najis karena keluar dari dubur ayam sehingga bercampur dengan kotoran ayam yang najis, barang yang kena najis adalah najis pula maka wajib membasuh telur sebelum digunakan. Aku ingin berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara fikih dengan menyebutkan dalil-dalil semampunya. Menurut imam Nawawi dalam Kitabnya Al Majmu' Sebagai berikut: ( فرع) البيض من مأكول اللحم طاهر بالاجماع ومن غيره فيه وجهان كمنيه الاصح الطهارة (Cabang) Telur dari binatang yang dimakan dagingnya adalah suci secara ijmak. Adapun telur yang keluar dari binatang yang tidak dimakan dagingnya ada dua pendapat sebagaimana khilaf dalam maninya, yang paling shahih adalah suci. Keterangan: Jadi telur binatang yang halal dimakan seperti ayam, bebek, angsa, burung dsb adalah suci dan tidak najis. Berbeda dengan t

Terjemah kitab Fathul Wahhab karya Abu Zakaria Al Anshori

 Kitab Ath Thaharah (Bersuci) Kitab secara bahasa adalah menggabungkan dan mengumpulkan, secara istilah adalah nama dari  berbagai kumpulan khusus dari ilmu yang terdiri dari beberapa bab dan pasal biasanya. Thaharah secara bahasa adalah النظافة والخلوص من الادناس  Bersih dan terbebas dari kotoran-kotoran. adapun menurut Syariat thaharah adalah رفع حدث او ازالة نجس او ما في معناهما وعلى صورتهما "Mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau sesuai makna keduanya atau sesuai gambarannya seperti tayammum dan mandi-mandi sunnah, tajdidul wudlu (memperbarui wudlu) dan basuhan kedua dan ketiga, semuanya termasuk macam-macam bersuci. (Bersambung)

VATIKANPUN AKAN MENJADI MILIK UMAT ISLAM

oleh: Kholil Misbach, Lc Romawi pada masa terdahulu merupakan negara adidaya yang sangat kuat dan kaya, saking besarnya kekuatan Romawi ini sampai ada surat yang menceritakan kisahnya yaitu surat Ar Rum yang berarti bangsa Romawi, walaupun besar, kuat dan adidaya karena tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya Muhammad saw maka negeri inipun akan hancur dan ditaklukkan oleh kaum muslimin. semoga Allah menjadikan kita sebagai penakluknya.  Sebuah berita bahagia bagi kaum muslimin bahwa vatikanpun kelak akan menjadi milik kaum muslimin, dalam sebuah riwayat:  Beliau bersabda “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”  [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Dari Abu Qubail berkata: Saat kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu ; Konstantinopel atau Rumiyah?  Abdullah mem