Labelisasi Halal merupakan hal yang urgen supaya umat Islam terhindar dari makanan-manan yang haram, seperti babi dan Anjing. MUI sendiri sudah melakukan banyak sekali labelisasi makanan di Indonesia, bahkan dulu pernah ketua MUI mengiklankan susu Dancow. Lalu hak paten siapakah labelisasi halal tersebut, apakah milik MUI saja, ataukah DEPAG, ICMI, NU, MUhammadiyah juga punya hak yang sama dalam labelisasi.
kalau setiap lembaga punya panitia labelisasi halal dikhawatirkan akan terjadi kontradiksi dalam satu label makanan. Adapun menurut MUI Solo menolak akan adanya labelisasi ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo tidak setuju terhadap pemberlakuan labelisasi halal terhadap produk makanan. Pasalnya, hal itu tidak menjamin kehalalan suatu makanan sampai pada tingkat molekuler
Demikian diutarakan Ketua MUI Solo, Zaenal Arifin Adnan saat ditemui dalam acara pengajian Ahad Pagi di Gedung Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) Surakarta, Minggu (11/4). Menurutnya, pembuktian halal tidak hanya teknis seperti cara penyembelihan saja. Tapi harusnya sampai pada tingkat pembuktian molekuler.
Sayangnya, hingga saat ini belum ditemukan suatu alat yang dapat membedakan suatu makanan/minuman memiliki zat dari babi sampai pada tingkat molekuler. "Kami takut untuk mengiyakan labelisasi halal. Takut disalahgunakan dan resikonya cukup besar. Nanti yang seharusnya haram malah dianggap halal," kata Zaenal.
Lantaran belum adanya alat pendeteksi tingkat molekuler suatu makanan, pria yang juga seorang dokter spesialis penyakit dalam ini menilai pengeluaran label halal tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga jika pada kenyataannya ada ulama yang mengeluarkan label halal itu, maka harus mempertanggungjawabkannya sendiri pada Allah.
"Ulama tidak dapat bertanggung jawab sampai molekuler. Itu hanya kemampuan dari suatu alat yang dapat mendeteksinya," tegasnya.
Adanya labelisasi halal itu, lanjutnya, dapat berpotensi terjadinya penyalahgunaan. Hal ini tak terlepas dari kebutuhan label halal tidak hanya datang dari kalangan umat muslim. Permintaan label halal kebanyakan berasal dari kalangan non muslim.
Selama ini MUI Solo sendiri hanya mengeluarkan label halal mengenai penyembelihannya saja tidak termasuk kandungan zat yang ada di dalam makanan itu. Setelah itu dikeluarkan sertifikat yang menjelaskan bahwa cara penyembelihan sudah sesuai dengan syariat.
"Yang meminta label halal kebanyakan dari orang non muslim. Kalau orang muslim tentunya sudah tahun mana yang halal atau tidak," paparnya sambil menambahkan untuk setiap bulan MUI Solo menerima sekitar 10 permintaan labelisasi halal terkait dengan penyembelihannya.
Zaenal menambahkan, penilaian halal pada makanan cukup dilihat dari siapa yang membuatnya. Dia menggambarkan bahwa jika sebuah pabrik makanan memiliki karyawan semua muslim maka sudah dipastikan halal. "Tapi kalau kemungkinan mereka juga membuat makanan dari bahan tidak halal, ya biar bertanggung jawab sendiri kepada Allah," tegasnya.
kalau setiap lembaga punya panitia labelisasi halal dikhawatirkan akan terjadi kontradiksi dalam satu label makanan. Adapun menurut MUI Solo menolak akan adanya labelisasi ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo tidak setuju terhadap pemberlakuan labelisasi halal terhadap produk makanan. Pasalnya, hal itu tidak menjamin kehalalan suatu makanan sampai pada tingkat molekuler
Demikian diutarakan Ketua MUI Solo, Zaenal Arifin Adnan saat ditemui dalam acara pengajian Ahad Pagi di Gedung Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) Surakarta, Minggu (11/4). Menurutnya, pembuktian halal tidak hanya teknis seperti cara penyembelihan saja. Tapi harusnya sampai pada tingkat pembuktian molekuler.
Sayangnya, hingga saat ini belum ditemukan suatu alat yang dapat membedakan suatu makanan/minuman memiliki zat dari babi sampai pada tingkat molekuler. "Kami takut untuk mengiyakan labelisasi halal. Takut disalahgunakan dan resikonya cukup besar. Nanti yang seharusnya haram malah dianggap halal," kata Zaenal.
Lantaran belum adanya alat pendeteksi tingkat molekuler suatu makanan, pria yang juga seorang dokter spesialis penyakit dalam ini menilai pengeluaran label halal tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga jika pada kenyataannya ada ulama yang mengeluarkan label halal itu, maka harus mempertanggungjawabkannya sendiri pada Allah.
"Ulama tidak dapat bertanggung jawab sampai molekuler. Itu hanya kemampuan dari suatu alat yang dapat mendeteksinya," tegasnya.
Adanya labelisasi halal itu, lanjutnya, dapat berpotensi terjadinya penyalahgunaan. Hal ini tak terlepas dari kebutuhan label halal tidak hanya datang dari kalangan umat muslim. Permintaan label halal kebanyakan berasal dari kalangan non muslim.
Selama ini MUI Solo sendiri hanya mengeluarkan label halal mengenai penyembelihannya saja tidak termasuk kandungan zat yang ada di dalam makanan itu. Setelah itu dikeluarkan sertifikat yang menjelaskan bahwa cara penyembelihan sudah sesuai dengan syariat.
"Yang meminta label halal kebanyakan dari orang non muslim. Kalau orang muslim tentunya sudah tahun mana yang halal atau tidak," paparnya sambil menambahkan untuk setiap bulan MUI Solo menerima sekitar 10 permintaan labelisasi halal terkait dengan penyembelihannya.
Zaenal menambahkan, penilaian halal pada makanan cukup dilihat dari siapa yang membuatnya. Dia menggambarkan bahwa jika sebuah pabrik makanan memiliki karyawan semua muslim maka sudah dipastikan halal. "Tapi kalau kemungkinan mereka juga membuat makanan dari bahan tidak halal, ya biar bertanggung jawab sendiri kepada Allah," tegasnya.
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif