Skip to main content

STEPHEN KING DAN BANGSA KITA

STEPHEN KING DAN BANGSA KITA
OLEH ENDANG RUKMANA


Pada suatu minggu pagi, di antara tumpukan koran dan majalah saya melihat
dia, Stephen King. Rambut lurus pirang, nampak sedikit acak-acakan menutupi
keningnya. Sebagai penulis, meski dari balik kacamata minus, sorot matanya
masih jelas menyembunyikan kenakalan. Dia mencoba tersenyum, tapi jadinya
sinis. Dan memang, dengan nada meleceh—di sebuah koran nasional—ia
mengatakan: “Hanya lawan yang berbicara kebenaran; teman dan kekasih
berdusta tanpa henti.” Sungguh, saya amat tergoda membacanya.
Umumnya cara pandang terhadap diri sendiri seringkali kurang obyektif,
karena ada ego yang membuatnya jadi berat sebelah. Unsur subyektifitas dalam
cara pandang demikian sangat sulit dihindari, terlebih jika tidak memiliki
jiwa besar untuk menerima segala cacat dalam diri dengan legowo. Jadinya,
segala cacat yang sebenarnya jelas terlihat coba disamarkan dan coba untuk
tidak diakui sebagai kekurangan.
Seorang kawan pernah berkata kepada saya bahwa dia sebenarnya masih merasa
ganjil, menerima konsep wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa
Indonesia terhadap Indonesia itu sendiri.
Seperti yang diisyaratkan Stephen King, bukankah konsep wawasan nusantara,
lebih pada cara pandang ngacim dewek (memuji diri sendiri). Dalam pelajaran
PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) sering kita dapati itu,
terutama pada masa orde baru. Misal saja, dalam kaitan bangsa Indonesia
sebagai satu kesatuan sosial-budaya, konsep wawasan nusantara memaklumkan
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, beradab, pemaaf dan
ramah-tamah.
Tapi apa, lacur? Orang-orang di luar kita kemudian mencibiri bangsa
Indonesia sebagai bangsa tikus (korup), barbar dan bangsa yang amok.
Mochtar Lubis, dalam Manusia Indonesia (1978), mencoba mendeskripsikan
seperti apa sebenarnya ciri-ciri kepribadian manusia Indonesia: kuatnya
mitos dan mistik, kuatnya daya sinkretis, bersikap hipokritis, feodalisme
dalam bentuk baru, percaya kepada tahayul yang telah dimodifikasi, tidak
hemat atau bukan economic animal, suka menggerutu, falsafah kebenaran, suka
meniru, dan etos kerja rendah.


Maka tidak berlebihan, kalau kemudian saya dan beberapa kawan menjawab
pertanyaan dari sebuah LKS PPKn tidak seperti biasanya—tentang “Apakah ciri
kepribadian bangsa Indonesia yang paling menonjol?” kami tidak menjawabnya
sesuai dengan konsep wawasan nusantara (religius, beradab, ramah-tamah atau
segala bentuk pujian lainnya). Tetapi kami sepakat menjawab, “ciri
kepribadian bangsa Indonesia yang paling menonjol adalah KKN alias kolusi,
korupsi dan nepotisme.” Karena menurut kami itulah realitas sebenarnya, jika
kita mau membuka kacamata wawasan nusantara yang suka memuji diri sendiri
itu dan menggantinya dengan kacamata baru yang memakai kritik dan saran
membangun sebagai titik fokus lensanya.
Tragedi kerusuhan Mei 1998, konflik berdarah di berbagai pelosok tanah air,
maraknya kasus KKN, adu jotos anggota parpol, tewasnya Wahyu Hidayat (kasus
STPDN), diakui atau tidak, merupakan cerminan dari ciri kepribadian bangsa
Indonesia.
Atau kalau ingin lebih jauh menengok kebelakang, mata kita akan lebih
terbuka dengan lembaran sejarah bangsa yang sudah berdebu itu: kisah
perebutan kekuasaan yang disertai mitos keris empu Gandring, penaklukan
kerajaan Sunda oleh Majapahit dengan cara yang licik, perang Paregreg,
suksesi Mataram, dan banyak peristiwa sejarah lain yang dapat dijadikan
cermin, bagi ciri kepribadian bangsa Indonesia yang ternyata berseberangan
dengan konsep wawsan nusantara.
Tentu saja akan ada yang mengelak, dan berdalih itu semua bukan watak asli
dan ciri kepribadian yang dimiliki bangsa Indonesia, melainkan warisan
kolonial. Boleh jadi memang, kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga
setengah abad itu punya warisan juga pada pembentukan kepribadian bangsa
Indonesia. Tetapi bukankah sebelum kolonisasi dimulai, bangsa kita di zaman
kerajaan-kerajaan tua telah memiliki watak KKN, jagoisme dan amokisme yang
kental?
Bahkan menurut Ong Hok Ham, seorang sejarawan Indonesia, sebenarnya Belanda
tidak secara langsung menerapkan politik devide et impera, karena perpecahan
dan pertikaian itu sendiri sejak lama telah menjadi tradisi pemerintahan
kerajaan-kerajaan di Indonesia. Belanda kemudian hanya sedikit memolesnya,
memanfaatkan situasi dan kondiasi yang ada.
Kalau kita masih mengelak, mungkin akan tambah satu lagi ciri kepribadian
bangsa Indonesia yang paling menonjol, yakni pandai mengelak dari realitas
dan lihai mencari kambing hitam. Atau karena kita ini “bangsa etika,” maka
segala hal yang buruk mengenai bangsa Indonesia menjadi tidak etis untuk
dimunculkan ke permukaan.
Coba kita simak pribahasa yang dimiliki nenek moyang bangsa ini, “Nila
setitik, rusak susu sebelanga.” Juga yang satu ini, “Sekali lancung ke
ujian, seumur hidup orang tak akan percaya.” Pribahasa yang sadis. Atau
macam inikah keramah-tamahan bangsa Indonesia?***

Penulis adalah siswa kelas Tiga IPS SMU Negeri 1 SERANG. Aktif di Rumah
Dunia.

AKHIRNYA KAMI MENULIS
(Semacam Penutup Resmi)

Kami menulis dengan alasan yang berbeda, tetapi kali ini kami mencoba untuk
menyatukannya dalam sebuah tulisan.
Untuk mencari jawaban sakral itu, Aad mencoba mengasingkan diri dalam
kamarnya. Menghabiskan malam-malam dengan merenung, menyelam ke dalam palung
kontemplasi.
Jujur saja, selama ini Aad tidak punya alasan khusus mengapa ia menulis.
Namun setelah pengembaraan makna pada malam-malam panjang yang ia lalui. Ia
menemukan sesuatu yang membuatnya sampai berani menerbitkan buku. Sesuatu
yang selalu menggodanya bangun tengah malam (untuk menulis) atau melamun
saat guru menerangkan. Sesuatu yang membuatnya merasakan derita perih fisik
namun penuh kenikmatan batin. Sesuatu yang sangat abstrak, tapi
manusia—karena kejeniusannya—berhasil merangkumnya ke dalam empat buah huruf
sederhana: H-O-B-I.
Ya, Aad menulis karena hobi.
Seperti juga seorang kawan begitu piawai memainkan gitar—kadang sampai lupa
waktu. Ada juga kawan lain yang baginya rumus-rumus Fisika super rumit
adalah cemilan gurih dan renyah. Atau seorang pelukis yang mencoba menyimpan
dunia dalam goresan tinta. Ketika ditanya, mereka kebanyakan menjawab: abis
hobi sih!
Dari hobi menulis semuanya berawal—dalam istilah Dee “Menulis adalah
perjalanan menuju satu kelahiran.” Menulis seperti menjadi panggilan alam
buatku. Menulis—dengan sangat ajaib dan misterius—dapat memunculkan hal-hal
baru; pengalaman baru. Dengan menulis, saya bisa melakukan hal-hal baru yang
dahulu tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Contoh yang paling jelas dan
masuk akal adalah honorarium. Ini hal yang menyenangkan! Saya tidak pernah
berpikir sebelumnya (hanya) dengan menuangkan ide atau perasaan, ternyata
bisa menghasilkan uang.
Tapi saya tidak sepenuhnya setuju dengan ucapan Dr. Samuel Johnson—“Tidak
ada seorang pun, kecuali yang goblok, yang mau menulis tidak untuk cari
uang”. Memang banyak sekali penulis begini yang jumlahnya cukup besar untuk
membentuk sebuah republik. Termasuk Shakspeare, O. Henry, Anton Chekov,
Asrul Sani, Yusuf Abdullah Puar, Arifin C. Noer, dan sebutlah nama-nama
lain. Tapi ada juga orang yang menulis tidak untuk cari uang dan toh mereka
bukan orang goblok.
Saya menulis bukan hanya karena uang. Akan tetapi lebih dari itu, menulis
dapat membantu menghilangkan tekanan-tekanan yang datang membanjir dari luar
diri saya. Dengan menulis saya dapat mengekspresikan seluruh apa yang
menyesaki jiwa saya. Saya berusaha mengosongkan pikiran dan hati saya dengan
membuang semua hal yang mengganggu. Begitu saya selesai menulis, beban-beban
yang menusuk pikiran dan jiwa saya seakan hilang, musnah terseret kata-kata
yang tuliskan di layar komputer atau di selembar kertas. Saya merasakan
katarsis, plong! Menulis dan berbahagia.
Menulis juga bisa berarti berkomunikasi tanpa batas ruang dan waktu. Atau
dengan kata lain, saya menulis mencoba untuk berbagi pengalaman yang
kebetulan dititipkan-Nya kepada saya. Sebab saya tidak sendirian. Saya butuh
berbagi diri, butuh menuliskan sesuatu, dan butuh orang lain. Bisa jadi
sekarang saya sedang tidur pulas, sementara anda yang berjarak puluhan
kilometer sedang serius sekali membaca tulisan ini. Siapa tahu?!
Kreativitas berkomunikasi lewat tulisan adalah hal yang membedakan antara
kita dan binatang. Seekor laba-laba sangat kamipui membuat sarang. Atau
seekor semut dan kawan-kawannya mampu membuat sarang yang secara arsitektual
mencengangkan. Akan tetapi, generasi demi generasi bentuk sarang itu tidak
mengalami perubahan. Selalu sama. Seekor laba-laba dan semut generasi
berikutnya mendapatkan kepandaiannya secara insting. Karena para leluhur
membawa serta pengalamannya ketika mati. Tapi, hal itu tidak terjadi pada
manusia prasejarah. Ia mencoba menuliskan apa yang ia alami. Mungkin ia
tidak berpikir sedemikian jauh, sampai suatu hari tulisannya akan ditemukan
oleh para arkelog. Tapi kini, coret-coretan pada dinding guanya menjadi
sesuatu yang sangat berharga bagi dunia ini.
Peter Ustinov suatu ketika pernah berkata: "Tak ada gunanya mati jika anda
tak menghantui ingatan seseorang… jika anda tidak meninggalkan secercah
rasa" (Aftertaste, 1958).
Dengan menulis seseorang tidak hanya numpang hidup di kulit bumi. Sekedar
kenyang dan mati tak dikenang. Setelah itu hilang begitu saja, tidak pernah
hidup dalam ingat seseorang. Seolah tak pernah ada, tak pernah hidup. Hilang
begitu saja seperti debu terbawa angin.
Setidaknya dengan tulisan sederhana ini, saya telah melakukan sesuatu dengan
hidupku. Karena manusia berbeda dengan binantang, maka saya ingin
meninggalkan secercah rasa dalam kehidupan ini. Menulis membuat kita
mempunyai tempat di bumi (dan di langit).
Disadari atau tidak, kita selalu ingin melawan terhadap sesuatu. Entah itu
rutinitas, peraturan, orang tua, guru atau penguasa. Bagiku menulis juga
bisa menjadi sebuah perlawanan. Ketika kita menyaksikan para demonstran yang
bergerak turun ke jalan. Mereka mencoba merubah sesuatu, kadang bertindak
anarkis. Tapi dengan menulis, kita tidak perlu capek-capek turun ke jalan
dan berteriak-teriak sampai tenggorokan kering. Kita cukup menuliskannya dan
orang-orang akan membaca gagasan kita. Menulis bagaikan memetakan ide dan
pengalaman konkret saya.
Mungkin hal itu yang dialami Anne Frank dengan catatan hariannya, Kartini
dengan Habis Gelap Terbitlah Terang-nya, Soekarno dengan Indonesia
Menggugat-nya, Tan Malaka dengan Madilog-nya, atau Karl Marx dengan Das
Kapital-nya. Mereka menulis karena kegelisahan yang meledak dan keluar
menjadi sebuah perlawanan intelektual. Mereka tidak pernah menggerakkan
masa, melainkan pena. Dan Nadine Gordimer pun menulis, “Ada banyak bentuk
perlawanan yang tak dikenal.”
Ketika saya melemah, kehabisan energi, tapi ide mendesak minta dikeluarkan.
Saya kembali teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer: “Tenaga menulis
adalah perlawanan.”
Sementara Endang di kamarnya yang bocor, mencoba kembali membuka file lama,
dan dia menemukan ini: “menulis itu menyehatkan” (Bambang Q-Anees) dan
“sebab menulis adalah aktivitas yang paling funky dan seksi” (Puthut EA).
Baiklah Endang akan coba jelaskan.
Hampir setiap saat, anak cucu Adam dihadapkan pada masalah hidup yang
menekan dan menggelisahkan. Wajar, jika kemudian setiap orang punya bakat
stres dan gila, apalagi bagi orang Indonesia yang dalam kesehariannya harus
bernafas dalam udara pengap krisis multidimensional. Bahkan, Bambang Q.
Anees mengatakan, setiap orang terlahir sakit jiwa.
Agar hidup tetap normal dan berbahagia, kita perlu media untuk menyalurkan
segala ketertekanan dan kegelisahan, yang merupakan efek dari derasnya
masalah-masalah tersebut. Macam-macam cara orang menyalurkan ketertekanan
dan kegelisahanya. Ada yang cukup merasa nyaman menyalurkannya lewat
jalan-jalan sore atau sekedar bersenda gurau dengan kawan-kawan. Ada yang
baru merasa waras kalau sudah nyetel musik keras-keras. Ada yang dengan
menyanyi solo di kamar mandi. Ada yang dengan mencorat-coret di kertas atau
di tembok. Ada yang dengan usil, atau marah-marah dan memaki orang lain. Ada
yang dengan melakukan “goyang ngebor” ala Inul Daratista. Ada juga yang
penyalurannya dengan mencabut nyawa orang lain atau menjadi kanibal seperti
kasus Sumanto.
Melihat kenakalan remaja dewasa ini: bolos sekolah, tawuran, merokok,
ngedrugs (penyalahgunaan Narkoba), freesex dan lain-lain, bisa jadi itu
merupakan bentuk negatif penyaluran ketertekanan dan kegelisahan mereka.
Hal-hal negatif mudah terjadi pada remaja, karena masa remaja dikenal
sebagai masa-masa yang labil (masa stroom and drunk).
Remaja dihadapkan pada banyak realitas yang membuat mereka tertekan, gelisah
dan mau muntah. Mulai dari realitas politik yang dikatakan seorang esais,
Wan Anwar, banyak menyodorkan janji-janji busuk terselubung. Realitas
pendidikan di sekolah atau otoritas orang tua yang terkadang tidak mau
mengerti bahwa remaja pun punya hak bicara. Realitas sosial bangsa Indonesia
yang setiap hari mengajarkan kita untuk semakin menertawai kemiskinan,
kekerasan, dan penindasan. Sampai pada realitas percintaan roman picis di
kalangan remaja ABG—cinta yang menurut tokoh Ti Pat Kay dalam film “Kera
Sakti”, deritanya tiada akhir.
Bagi saya, menulis adalah obat yang cespleng untuk mengatasi ketertekanan
dan kegelisahan. Menulis adalah media alternatif yang positif, menyenangkan,
funky dan seksi untuk menumpahkan segala unek-unek serta ide-ide kreatif.
Ada energi hangat melegakan dan gairah menyehatkan yang terpancar ketika
menjatuhkan setiap hal yang menekan dan menggelisahkan ke dalam wujud
kata-kata di atas selembar kertas. Sehingga saya tetap mampu bangkit,
menatap kehidupan dengan normal dan berbahagia, tidak terjerumus kepada
penyalahgunaan Narkoba, ataupun bentuk-bentuk kenakalan remaja lainnya.
Tetapi banyak orang beranggapan bahwa menulis selalu kegiatan serius,
njelimet, dan jadi semacam hak paten bagi para pakar, wartawan, sastrawan,
dan profesor yang kepalanya sudah botak. Apalagi jika menulis sudah
dikait-kaitkan dengan karya ilmiah, kajian filsafat, atau genre karya sastra
serius seperti “Ziarah”-nya Iwan Simatupang dan “Olenka”-nya Budi Darma.
Mungkin karena paradigma tersebut yang lebih populer, banyak remaja ABG dan
bahkan Angkatan Babe Gue jadi takut atau segan untuk mulai menulis. Tak
heran kalau kemudian Taufik Ismail bilang, bangsa Indonesia itu “Rabun
Membaca” dan“Lumpuh Menulis”.
Padahal menulis bisa dijadikan sebagai kebutuhan dan kegiatan yang
menyenangkan. Menulis bisa jadi alat untuk menumpahkan segala unek-unek dan
gagasan, sekaligus berfungsi mempertegas eksistensi kemanusiaan. Menulis
bisa jadi ajang ekspresi dan peluapan emosi. Menulis bisa jadi obat penenang
kegelisahan. Menulis bisa jadi hiburan. Menulis bisa jadi media
curhat-curhatan. Menulis bisa jadi media untuk menyatakan “I Love You” dan
beromantis-romantisan dengan gebetan. Menulis juga bisa menghasilkan uang.
Seperti Puthut EA bilang, “Sebab menulis adalah aktivitas yang paling funky
dan seksi”—contohnya Hilman menulis Lupus, Gola Gong menulis Balada Si Roy,
dan Dee menulis novel Supernova.
Menulis berarti waktunya untuk bangkit. Menulis berarti menatap realitas
dengan cermat. Menulis berarti berjuang menghadapi masalah dengan ide-ide
yang kritis dan segar. Menulis berarti menyalurkan segala ketertekanan dan
kegelisahan agar tidak gila. Menulis berarti aktivitas untuk dapat hidup
normal dan berbahagia. Menulis berarti aktivitas remaja ABG yang funky dan
seksi.
Akhirnya kami menulis. Menulis bukan suatu kegiatan yang luar biasa, setiap
orang pun bisa—“Setiap manusia memiliki gen penulis dalam dirinya,” begitu
kata Heri Latief, seorang guru di Belanda. Coba deh!

Serang, 1 Januari 2004
Aad&Endang


Comments

Popular posts from this blog

APAKAH TELUR NAJIS

Apakah Telur Najis oleh: Kholil Misbach, Lc Ada pertanyaan dari kawan tentang kenajisan telur hal itu dari artikel yang ia baca dalam sebuah postingan blog, dalam postingan tersebut menyatakan bahwa telur adalah najis karena keluar dari dubur ayam sehingga bercampur dengan kotoran ayam yang najis, barang yang kena najis adalah najis pula maka wajib membasuh telur sebelum digunakan. Aku ingin berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara fikih dengan menyebutkan dalil-dalil semampunya. Menurut imam Nawawi dalam Kitabnya Al Majmu' Sebagai berikut: ( فرع) البيض من مأكول اللحم طاهر بالاجماع ومن غيره فيه وجهان كمنيه الاصح الطهارة (Cabang) Telur dari binatang yang dimakan dagingnya adalah suci secara ijmak. Adapun telur yang keluar dari binatang yang tidak dimakan dagingnya ada dua pendapat sebagaimana khilaf dalam maninya, yang paling shahih adalah suci. Keterangan: Jadi telur binatang yang halal dimakan seperti ayam, bebek, angsa, burung dsb adalah suci dan tidak najis. Berbeda dengan t

Terjemah kitab Fathul Wahhab karya Abu Zakaria Al Anshori

 Kitab Ath Thaharah (Bersuci) Kitab secara bahasa adalah menggabungkan dan mengumpulkan, secara istilah adalah nama dari  berbagai kumpulan khusus dari ilmu yang terdiri dari beberapa bab dan pasal biasanya. Thaharah secara bahasa adalah النظافة والخلوص من الادناس  Bersih dan terbebas dari kotoran-kotoran. adapun menurut Syariat thaharah adalah رفع حدث او ازالة نجس او ما في معناهما وعلى صورتهما "Mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau sesuai makna keduanya atau sesuai gambarannya seperti tayammum dan mandi-mandi sunnah, tajdidul wudlu (memperbarui wudlu) dan basuhan kedua dan ketiga, semuanya termasuk macam-macam bersuci. (Bersambung)

VATIKANPUN AKAN MENJADI MILIK UMAT ISLAM

oleh: Kholil Misbach, Lc Romawi pada masa terdahulu merupakan negara adidaya yang sangat kuat dan kaya, saking besarnya kekuatan Romawi ini sampai ada surat yang menceritakan kisahnya yaitu surat Ar Rum yang berarti bangsa Romawi, walaupun besar, kuat dan adidaya karena tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya Muhammad saw maka negeri inipun akan hancur dan ditaklukkan oleh kaum muslimin. semoga Allah menjadikan kita sebagai penakluknya.  Sebuah berita bahagia bagi kaum muslimin bahwa vatikanpun kelak akan menjadi milik kaum muslimin, dalam sebuah riwayat:  Beliau bersabda “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”  [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Dari Abu Qubail berkata: Saat kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu ; Konstantinopel atau Rumiyah?  Abdullah mem