Skip to main content

MENGKAJI ULANG RUU RAHASIA NEGARA

Apa yang salah dengan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) yang pembahasannya kini tengah digulirkan oleh pemerintah bersama DPR? Barangkali itulah pertanyaan yang muncul ketika membaca pemberitaan media masa di akhir-akhir ini.

Sejatinya persoalan mengenai RN di suatu negara memang diatur di dalam sebuah regulasi, baik itu pada tingkatan undang-undang atau hanya eksekutif. The Johannesburg Principles atau prinsip-prinsip yang diadopsi oleh sekelompok ahli hukum internasional, dan hak asasi manusia memberi petunjuk mengenai klausul pembatasan hak atas kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi atas keamanan nasional. Dalam Prinsip 1.1 dari Johannesburg Principle dikatakan, ”Any restriction on expression or information must be prescribed by law...”. Di beberapa negara misalnya Swedia, RN diatur dalam sebuah undang-undang Secrecy Act 1981, Inggris melalui Official Secrecy Act 1989, dan Amerika Serikat melalui The US Executive Order on Classified National Security Information 13292.


Bagaimana dengan Indonesia? Awalnya RUU RN merupakan produk inisiatif DPR bersama Lembaga Sandi Negara di masa Orde Baru. Rancangan awal RUU ini lebih mengatur persoalan persandian untuk mengamankan informasi dan bukan untuk membatasi informasi (Kompas, 13 September 2008). Sampai saat ini RUU RN telah beberapa kali mengalami perubahan dalam pembahasannya di DPR.

Persoalan konteks politik RUU RN

RUU RN yang kini dibahas di DPR terdiri atas 11 bab yang mengatur: Ketentuan Umum; Jenis, Tingkat Kerahasiaan dan Masa Retensi RN; Penyelenggaraan RN; Pengklasifikasian dan Pendeklasifikasian RN; Perlindungan Rahasia Negara; Pengelolaan RN; Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan; Ketentuan Pidana; Ketentuan Peralihan; dan Ketentuan Penutup.

Polemik yang beredar di media masa atas RUU RN muncul dalam berbagai argumentasi. Bagi pihak yang mendukung disahkan RUU itu sesegera mungkin berpandangan bahwa, sudah saatnya persoalan RN diatur di dalam sebuah UU sebagai antisipasi dari penyalahgunaan informasi yang berakibat pada terancamnya keamanan negara.

Sementara pihak yang kontra terhadap pengesahan RUU ini melihat masih adanya kelemahan, baik mengenai proses perumusan yang kurang merepresentasikan masyarakat sipil pro-demokrasi maupun soal substansi dari RUU itu sendiri yang cenderung menciptakan pelanggaran hak sipil dan politik, khususnya hak untuk memperoleh informasi.

Selain itu, kelemahannya juga menimbang persoalan masih belum adanya evaluasi penyelenggaraan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang juga mengatur informasi dikecualikan (rahasia). Dimana UU KIP juga mengatur sanksi pidana bagi informasi yang dikecualikan itu. Ditambah lagi adanya persoalan sedikitnya waktu yang dimiliki oleh DPR untuk membahas RUU RN, yang dikhawatirkan akan mengganggu kualitas dari RUU itu dan implikasinya bagi hak sipil dan politik warga negara.

Akan tetapi polemik itu sendiri pada konteks kekinian, dimana demokratisasi tengah terus berjalan, menjadi sah. Bahkan bisa dikatakan penting bagi dihasilkannya sebuah produk kebijakan (regulasi) yang transparan, accountable, dan representatif. Dan juga bagi kearifan pemerintah untuk memperhitungkan aspirasi publik terkait urgensi dibentuknya RUU RN menjadi UU.

Persoalan dalam RUU RN

Penulis sendiri, dengan memperhatikan masalah yang ditampilkan para pihak yang kontra terhadap pengesahan dalam perdebatan itu, akan menjelaskan masalah yang ada di dalam RUU RN. Dalam hal ini, penulis berpendapat RUU RN mengancam proses demokratisasi di Indonesia. Setidaknya hal itu dapat dijelaskan dalam beberapa alasan.

Pertama, dalam hal definisi terdapat dua persoalan. Definisi RN dalam RUU-nya disebutkan, ”Rahasia Negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan oleh presiden dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui standar dan prosedur pengelolaan, yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional, ketertiban umum dan/atau mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan.”

Definisi itu terlihat memberikan ruang fleksibilitas bagi pejabat negara untuk menyimpang dari kekuasaan (abuse of power). Penekanan pada kalimat ”pihak yang tidak berhak” dapat muncul dalam bentuk diskriminasi informasi bagi sebagian pihak. Sementara UU No.12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan publik. Dan Pasal 10 UU KIP berbunyi, ”Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.”

Selain itu, kalimat ”...terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional, ketertiban umum dan/atau mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan” dalam definisi RN terlalu umum dan multi tafsir. Kekhawatiran yang muncul dari kalimat itu adalah terbukanya kesempatan yang lebih luas bagi pejabat publik untuk melakukan ’klaim’ bahwa aktivitasnya tergolong rahasia. Hal itu menemui persoalannya ketika ada kebutuhan dari penegakan hukum untuk mengetahui informasi atas aktivitasnya itu. Sebagai salah satu contoh kasusnya adalah persoalan pemberantasan korupsi. Bisa saja pejabat yang tersangkut kasus korupsi dapat melawan usaha penegakan hukum terhadap dirinya dengan menggunakan klaim berdasar RUU ini jika nanti disahkan.

Kedua, tumpang-tindihnya RUU RN dengan UU KIP. Sesungguhnya pasal 17 UU KIP telah memiliki menyebutkan informasi yang dikecualikan. Di sinilah muncul adanya masalah tumpang-tindih dan redundant (berlebih-lebihan) dalam hukum. Dan terlihat pula bahwa RUU RN berusaha untuk menambah tertutupnya celah keterbukaan informasi dengan menambah cakupan kerahasiaan. Kembali usaha aktivis pro-demokrasi memperjuangkan hak sipil dan politiknya mendapat tantangan dari segi ini.

Ketiga, kekhawatiran munculnya monopoli informasi dan kekuasaan untuk menyatakan klaim rahasia negara pada elite eksekutif saja. Hal itu berdasar pada komposisi Badan Pertimbangan Rahasia Negara yang didominasi oleh pejabat pemerintah. Ditambah lagi luasnya wewenang lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan RN itu, tanpa adanya kewajiban untuk membuat pertanggungjawaban rutin kepada parlemen yang berfungsi sebagai representasi rakyat.

Mencari kesepakatan

Ketiga masalah RUU RN itu pada intinya merupakan ancaman bagi proses perjuangan aktivis pro-demokrasi untuk terus melanjutkan perjuangannya dan pemenuhan haknya sebagai warga negara. Meskipun di satu sisi ada kebutuhan negara untuk memperkuat strategi pertahanan dan keamanan nasional. Namun keduanya bukanlah dua aspek berbeda yang pasti bertentangan. Kepentingan memperkuat pertahanan dan keamanan negara dengan pemenuhan hak asasi warga negara bisa diperjuangkan bersama.

Apresiasi patut dialamatkan pada sikap DPR menunda pembahasan RUU RN sampai 26 April nanti. Inilah kesempatan bagi wakil rakyat untuk kembali mengkaji substansi dari RUU RN. Selain itu juga memperhitungkan kembali perlu tidaknya mempercepat pengesahan RUU RN di tengah adanya keterbatasan waktu pula.

Masalah-masalah itu jangan ditambah lagi dengan persoalan pembahasan yang tidak representatif, oleh karena DPR tidak mengikutsertakan aspirasi dari masyarakat pro-demokrasi untuk menghapusnya. IDSPS kembali menegaskan bahwa perlunya pelibatan Komnas HAM dalam urusan ini. Karena masalah-masalah yang muncul itu beririsan dengan pemenuhan hak asasi warga negara.

Dimas P Yuda

* Penulis adalah analis di Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).


Comments

Popular posts from this blog

APAKAH TELUR NAJIS

Apakah Telur Najis oleh: Kholil Misbach, Lc Ada pertanyaan dari kawan tentang kenajisan telur hal itu dari artikel yang ia baca dalam sebuah postingan blog, dalam postingan tersebut menyatakan bahwa telur adalah najis karena keluar dari dubur ayam sehingga bercampur dengan kotoran ayam yang najis, barang yang kena najis adalah najis pula maka wajib membasuh telur sebelum digunakan. Aku ingin berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara fikih dengan menyebutkan dalil-dalil semampunya. Menurut imam Nawawi dalam Kitabnya Al Majmu' Sebagai berikut: ( فرع) البيض من مأكول اللحم طاهر بالاجماع ومن غيره فيه وجهان كمنيه الاصح الطهارة (Cabang) Telur dari binatang yang dimakan dagingnya adalah suci secara ijmak. Adapun telur yang keluar dari binatang yang tidak dimakan dagingnya ada dua pendapat sebagaimana khilaf dalam maninya, yang paling shahih adalah suci. Keterangan: Jadi telur binatang yang halal dimakan seperti ayam, bebek, angsa, burung dsb adalah suci dan tidak najis. Berbeda dengan t

Terjemah kitab Fathul Wahhab karya Abu Zakaria Al Anshori

 Kitab Ath Thaharah (Bersuci) Kitab secara bahasa adalah menggabungkan dan mengumpulkan, secara istilah adalah nama dari  berbagai kumpulan khusus dari ilmu yang terdiri dari beberapa bab dan pasal biasanya. Thaharah secara bahasa adalah النظافة والخلوص من الادناس  Bersih dan terbebas dari kotoran-kotoran. adapun menurut Syariat thaharah adalah رفع حدث او ازالة نجس او ما في معناهما وعلى صورتهما "Mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau sesuai makna keduanya atau sesuai gambarannya seperti tayammum dan mandi-mandi sunnah, tajdidul wudlu (memperbarui wudlu) dan basuhan kedua dan ketiga, semuanya termasuk macam-macam bersuci. (Bersambung)

VATIKANPUN AKAN MENJADI MILIK UMAT ISLAM

oleh: Kholil Misbach, Lc Romawi pada masa terdahulu merupakan negara adidaya yang sangat kuat dan kaya, saking besarnya kekuatan Romawi ini sampai ada surat yang menceritakan kisahnya yaitu surat Ar Rum yang berarti bangsa Romawi, walaupun besar, kuat dan adidaya karena tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya Muhammad saw maka negeri inipun akan hancur dan ditaklukkan oleh kaum muslimin. semoga Allah menjadikan kita sebagai penakluknya.  Sebuah berita bahagia bagi kaum muslimin bahwa vatikanpun kelak akan menjadi milik kaum muslimin, dalam sebuah riwayat:  Beliau bersabda “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”  [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Dari Abu Qubail berkata: Saat kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu ; Konstantinopel atau Rumiyah?  Abdullah mem