Skip to main content

Kurban untuk Pengentasan Kemiskinan

Oleh Muh Kholid AS

Jumat, 5 Desember 2008
Pada tanggal 8 Desember 2008, kaum Muslim merayakan Idul Adha atau Idul Kurban dengan penyembelihan hewan kurban. Melalui ibadah ini, diharapkan seseorang berani mengorbankan hasrat libido "kebinatangannya" demi solidaritas dan upaya memberdayakan sesamanya yang kurang beruntung. Kaum miskin, lemah, dan kelompok marginal lain memiliki kesempatan merasakan kenikmatan dari harta orang kaya.

Dibandingkan dengan ibadah lainnya dalam Islam, kurban merupakan salah satu ritus yang mempunyai imbas ekonomi-sosial cukup signifikan. Artinya, selain sebagai sebuah ritus yang bersifat teosentris, kurban sebenarnya juga bersifat humanis dalam menggalang solidaritas kemanusiaan. Idealnya, kurban mampu menumbuhkan kepedulian sosial dan solidaritas kemanusiaan dalam praksis yang liberatif.

Distribusi daging ternak kepada sesama adalah simbol kurban sebagai jembatan untuk meminimalkan kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Kerja ini makin penting mengingat kemiskinan adalah masalah laten yang mendorong berkembangnya aneka penyakit kronis serta timbulnya gejolak sosial semacam kriminalitas, penjualan diri, penculikan, dan sebagainya.

Bahkan, tidak sedikit pengamat sosial yang menyatakan, kemiskinan berdampak pada suburnya fundamentalisme agama, yang salah satu efek negatifnya adalah maraknya kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Berdasarkan laporan tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan, jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2008 sebanyak 34,96 juta orang. Jumlah ini turun 2,21 juta orang dibanding tahun 2007 serta turun 4,34 juta orang pada 2006. Banyaknya masyarakat yang berkubang dalam kemiskinan itu tentu meniscayakan peran aktif agama untuk mengentaskannya, termasuk melalui Idul Kurban.

Bagi warga miskin, pemberian daging berapa ons pun hanya menjadi komoditas konsumtif selama beberapa hari saja. Setelah itu, mereka tetap menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhannya. Bahkan, tidak jarang distribusi semacam itu malah akan membuat mereka makin menderita karena harus menunggu tahun depan untuk bisa mengonsumsinya. Parahnya lagi, mereka bisa terjangkiti penyakit sosial yang berupa mental "pengemis" dengan cara mendatangi berbagai arena penyembelihan kurban untuk mendapatkan daging.

Lain halnya jika distribusi kurban lebih kontekstual. Dalam hal ini, mungkin ibadah kurban bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk mengatasi krisis kemiskinan. Syaratnya, ritus ini harus diimplementasikan dalam aksi yang transendental sekaligus humanis, dengan menjaga keseimbangan antara hubungan vertikal (habl min Allah) dan horizontal (habl min al-nas). Selain ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, ibadah kurban juga harus dijadikan sebagai sarana menolong sesamanya yang menderita kemiskinan dan atau mengalami kesulitan hidup.

Di sinilah dibutuhkan penafsiran pengelolaan kurban sebagai praktik keberagamaan yang benar-benar berimplikasi kepada masyarakat. Penafsiran "baru" ibadah ini harus lebih menitikberatkan segi humanitarian ritualnya daripada teologis-transendental yang sama-sama dikandungnya. Pengelolaan kurban haruslah memberdayakan masyarakat miskin untuk menghindarkannya dari sekadar wahana "konsumsi".

Pemaknaan seperti ini tentu akan melahirkan visi dan aksi ibadah yang benar-benar menawarkan solusi alternatif bagi krisis yang mendera masyarakat. Sebab, selain bermaksud sebagai ibadah individual, ibadah ini juga bertujuan untuk mendistribusikan kepemilikan harta, hilangnya orang yang menderita kelaparan, serta pemenuhan kebutuhan seseorang dalam wilayah sosial, dengan terdistribusinya harta benda duniawi pada setiap orang secara adil dan merata.

Tafsir semacam ini bukan berarti menegasikan tafsir klasik yang sudah ada, tetapi hanyalah usaha untuk mengkontekstualisasikan ajaran Islam sebagai rahmatan lil'alamin, rahmat bagi seluruh alam. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai tradisi yang telah ada memang membutuhkan sebuah formulasi yang up to date dan signifikan bagi kehidupan sesuai dengan masanya. Penafsiran semacam ini "hanyalah" salah satu upaya untuk mendialogkan teks dan konteks dalam circle hermeneutic yang bergulindangan.

Tentu akan lebih bermanfaat jika kurban difungsikan sebagai sarana untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan sosial. Momentum Idul Kurban bisa menjadi "dewa penolong" jika distribusinya terformat dalam materi primer yang dibutuhkan oleh mustadz'afin. Pemaknaannya akan lebih applicable jika tertuju dalam format kebutuhan riil, sebagai bentuk rasa kemanusiaan dan kebersamaan. Dengan demikian, ibadah kurban seharusnya dielaborasi dan ditafsirkan berdasarkan pada prinsip manfaat dan tujuan sosial.

Melihat pengelolaan kurban yang mulai berkembang saat ini, sebenarnya fungsionalisasinya sudah mulai diaplikasikan oleh berbagai lembaga sosial. Banyak orang yang melakukannya dengan cara mentransfer uang seharga hewan kurban ke lembaga itu sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Kemudian lembaga tersebut membeli hewan kurban yang dipesannya, untuk selanjutnya disembelih dan didistribusikan kepada fakir-miskin di berbagai tempat.

Pengelolaan semacam ini tentu sebagai salah satu hasil ijtihad umat muslimin kekinian dalam menafsirkan dan menghadirkan ibadah sosial yang selaras dengan perkembangan sejarah. Sebab, hal itu memang tidak terkodifikasi baik dalam teks Al Qur'an maupun al hadits. Berdasarkan pada penafsiran yang "bersifat" fleksibel ini, mungkin tidak ada salahnya jika pengelolaan kurban yang "lebih" fungsional dikembangkan lagi.

Penyerahan hewan bisa dilakukan melalui lembaga-lembaga tertentu tetap diadopsi, tetapi pembagian daging secara fisik harus diberi tafsir yang lebih kontekstual. Bisa saja uang yang terkumpul tidak dibelikan hewan dan disembelih, tetapi digunakan dalam kegiatan ekonomi produktif yang diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan, baik hasil maupun tenaga kerjanya.

Distribusi seperti ini dalam jangka panjang akan bisa menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka pada masa depan. Lebih dari itu, jika program ekonomi ini berhasil, pada saatnya nanti mereka justru akan menjadi kalangan yang diwajibkan mengeluarkan zakat maupun kurban. Selanjutnya, pengelolaan yang sama diterapkan atas "kewajiban" itu yang juga digunakan untuk mengangkat kehidupan manusia lain yang masih menderita. Allah a'lam bi al-shawab.***

Penulis adalah aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Comments

Popular posts from this blog

APAKAH TELUR NAJIS

Apakah Telur Najis oleh: Kholil Misbach, Lc Ada pertanyaan dari kawan tentang kenajisan telur hal itu dari artikel yang ia baca dalam sebuah postingan blog, dalam postingan tersebut menyatakan bahwa telur adalah najis karena keluar dari dubur ayam sehingga bercampur dengan kotoran ayam yang najis, barang yang kena najis adalah najis pula maka wajib membasuh telur sebelum digunakan. Aku ingin berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara fikih dengan menyebutkan dalil-dalil semampunya. Menurut imam Nawawi dalam Kitabnya Al Majmu' Sebagai berikut: ( فرع) البيض من مأكول اللحم طاهر بالاجماع ومن غيره فيه وجهان كمنيه الاصح الطهارة (Cabang) Telur dari binatang yang dimakan dagingnya adalah suci secara ijmak. Adapun telur yang keluar dari binatang yang tidak dimakan dagingnya ada dua pendapat sebagaimana khilaf dalam maninya, yang paling shahih adalah suci. Keterangan: Jadi telur binatang yang halal dimakan seperti ayam, bebek, angsa, burung dsb adalah suci dan tidak najis. Berbeda dengan t

Terjemah kitab Fathul Wahhab karya Abu Zakaria Al Anshori

 Kitab Ath Thaharah (Bersuci) Kitab secara bahasa adalah menggabungkan dan mengumpulkan, secara istilah adalah nama dari  berbagai kumpulan khusus dari ilmu yang terdiri dari beberapa bab dan pasal biasanya. Thaharah secara bahasa adalah النظافة والخلوص من الادناس  Bersih dan terbebas dari kotoran-kotoran. adapun menurut Syariat thaharah adalah رفع حدث او ازالة نجس او ما في معناهما وعلى صورتهما "Mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau sesuai makna keduanya atau sesuai gambarannya seperti tayammum dan mandi-mandi sunnah, tajdidul wudlu (memperbarui wudlu) dan basuhan kedua dan ketiga, semuanya termasuk macam-macam bersuci. (Bersambung)

VATIKANPUN AKAN MENJADI MILIK UMAT ISLAM

oleh: Kholil Misbach, Lc Romawi pada masa terdahulu merupakan negara adidaya yang sangat kuat dan kaya, saking besarnya kekuatan Romawi ini sampai ada surat yang menceritakan kisahnya yaitu surat Ar Rum yang berarti bangsa Romawi, walaupun besar, kuat dan adidaya karena tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya Muhammad saw maka negeri inipun akan hancur dan ditaklukkan oleh kaum muslimin. semoga Allah menjadikan kita sebagai penakluknya.  Sebuah berita bahagia bagi kaum muslimin bahwa vatikanpun kelak akan menjadi milik kaum muslimin, dalam sebuah riwayat:  Beliau bersabda “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”  [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Dari Abu Qubail berkata: Saat kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu ; Konstantinopel atau Rumiyah?  Abdullah mem