Skip to main content

Bagaimana Rasanya Merdeka? Memaknai Indonesia Baru dalam Bingkai Multikulturalisme

“Rasanya baru kemarin, padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka. Hari ini ingin rasanya aku bertanya, bagaimana rasanya merdeka”. (K.H. Mustofa Bisri).

SEJARAH perjalanan bangsa mengajarkan, kelahiran Boedi Oetomo (20 Mei 1908) adalah tonggak sejarah kebangkitan nasional. Meski sejatinya bagi kebanyakan pengamat sejarah, Boedi Oetomo dinilai terbatas perannya, karena organisasi ini senyatanya lebih bersifat “kebudayaan” daripada “politik”. Selain itu corak organisasi Boedi Oetomo lebih bersifat elitis dan aristokratis.

Terlepas dari kontroversi peran Boedi Oetomo sebagai tonggak Kebangkitan Nasional, namun eksistensi Boedi Oetomo amat penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Terutama karena hikmah lahirnya Boedi Oetomo, bangsa ini akhirnya amat niscaya, harus terlebih dahulu meraih persatuan sebelum mewartakan kemerdekaan. Itulah yang terjadi dengan Soempah Pemoeda (1928), yang mewujudkan cita-cita persatuan dalam nusa, bangsa dan bahasa. Perjalanan sejarah berikutnya, “menjodohkan” persatuan itu dengan kemerdekaan (1945).

Namun apa sejatinya makna Indonesia merdeka dalam konteks kekinian? Mengenai makna kemerdekaan itu, pada peringatan 59 tahun Indonesia Merdeka (17 Agustus 2004), KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) menulis puisi bertajuk “Rasanya Baru Kemarin” sebagai refleksi anak bangsa terhadap realita makna kemerdekaan yang kian kabur dari tujuan semula. Ungkapan hati seorang Kyai yang budayawan itu, meringkaskan riwayat Indonesia secara mendalam’ “Sejak tahun 1945, bangsa Indonesia terus berada dalam pahitnya penindasan, karena bangsa ini belum juga merasakan makna kemerdekaan yang sejati”.

Paradoks Rasionalitas

Dalam hajatan diskusi bertema “Peta Baru Indonesia Muda Mencapai Jalan Republik” yang diselenggarakan Kompas dengan Lingkar Muda Indonesia (18 Desember 2007), ditegaskan, “kondisi negara dan bangsa Indonesia saat ini, jauh dari yang dicita-citakan para pendiri bangsa”.

Pemerintah datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak perubahan ke arah kesejahteraan. Bahkan ada kecenderungan, jalan yang dilalui para penguasa jauh dari “Jalan Republik” yang ditegaskan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yaitu: Membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Fakta lain sebagai bukti empirik Jauh dari Jalan Republik, saya tuturkan. Suatu kali saya bertanya pada seorang pejuang veteran mengenai makna kemerdekaan. Sang Pejuang yang kian rapuh digerus usia itu berujar pendek, “Dulu saya pembela tanah air, sekarang tanah tak punya, air pun beli.” Ironis memang.

Jalan Republik telah sedemikian diabaikan, sampai-sampai seorang petinggi Negara melontarkan pandangan, bahwa pemimpin Republik, baik nasional maupun lokal, sebaiknya berlatar belakang saudagar (Kompas, 22/11/2006). Pandangan semacam ini menunjukkan dengan jelas visi sektoral seorang penguasa yang memandang Republik ini tidak lebih sebagai korporasi atau pasar yang hanya dapat dikelola dengan logika dagang.

Mengenai regenerasi kepemimpinan nasional, Fadjroel Rachman secara kritis menegaskan, “karakter feodalistik, patriarki dan prosedur demokrasi yang sentralistik merupakan penghalang utama rotasi kepemimpinan nasional. Titik krusial ini dapat menenggelamkan Republik ke jalan lama, sekedar restorasi semua nilai, lembaga, individu dan praktik antidemokrasi, anti kesejahteraan dan anti keadilan sosial.”

Pada sisi lain, keprihatinan bangsa yang amat mendalam adalah rusaknya peradaban publik, yang saat ini nyaris sampai pada titik kulminasi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peringatan bahaya itu ditandai dengan paradoksal antara realita sosial dengan perilaku elite kekuasaan yang tidak bermartabat.

Sejumlah realita mengenai hal itu telah terang-benderang. Misalnya, di tengah kesulitan rakyat mendapatkan sembako, sejumlah anggota DPR justru terlibat suap. Di beberapa tempat, gedung sekolah rusak, jalanan becek dan banjir terus menyiksa rakyat, tetapi justru dana Bantuan Sosial ditilep oknum aparat. Mendapatkan 5 liter minyak tanah harus antre, gas elpiji harganya mencekik, tapi korupsi tetap saja merajalela. Lapangan kerja kian sulit, pengangguran meningkat, tapi dana kampanye Pemilihan Gubernur justru terhambur ber-milyar-milyar.

Di tengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat jelata, para penguasa justru sibuk tebar pesona untuk mengemis suara rakyat pada Pemilu 2009. Bahkan pemerintahan berniat menaikkan kembali harga BBM di tengah terpuruknya kehidupan rakyat kecil. Itulah segelintir rusaknya peradaban publik yang kian menjauhkan negara ini dari “Jalan Kedaulatan Rakyat”.

Menimba Makna Kitab Martabah Tujuh

Dalam upaya memaknai 100 Tahun kebangkitan Nasional, layak kiranya bila kita berguru pada kearifan lokal para leluhur bangsa ini. Kerajaan Buton (Sulawesi Tenggara) sejatinya menyimpan kekayaan kearifan lokal yang tak ternilai harganya --begitu pula warisan leluhur dari Kerajaan lain di Nusantara--

Kerajaan Buton ditegakkan pada awal abad 13 oleh Ratu Wa Ka Ka, putri raja Tiongkok Khubilai Khan dari selir bernama Ratnakesari berleluhur Buton. Pada abad 16, Islam masuk ke Buton dan Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan dengan Sultan pertama bergelar Sultan Qaimuddin (1538-1584). Sejak itu Kesultanan Buton mulai menganut sistem demokrasi parlemen dan memiliki konstitusi yang tertuang dalam Kitab Martabah Tujuh yang dipatuhi oleh seluruh warga, termasuk para penguasa Kesultanan. Konstitusi Martabah Tujuh mulai ditulis dan disempurnakan pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1957-1531).

Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, konstitusi Martabah Tujuh menegaskan tentang empat aturan yang harus dipegang teguh. Pertama, Inda inda mo arata somanamo karo (Korbankan harta demi keselamatan diri). Kedua, inda inda mo karo somanamu lipu (Korbankan diri demi keselamatan negeri). Ketiga, inda inda mo lupu somanamu syara (Korbankan negeri yang penting pemerintahan). Keempat, inda inda mo syara somanamu agama (Biarlah pemerintahan hancur yang penting agama).

Ada peristiwa menarik berkenaan dengan penegakan hukum pada masa Kesultanan Buton. Suatu kali “parlemen’ Kesultanan menemukan fakta, Sultan Mardan Ali yang memerintah pada abad 17 melakukan kesalahan dan melanggar sumpah. Maka Sultan dijatuhi hukuman mati karena melanggar sumpah tidak akan mengganggu istri orang lain.

Kini setelah 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan 63 tahun Indonesia merdeka, adakah bangsa ini masih memegang teguh falsafah warisan leluhur dari Kerajaan Buton dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Indonesia Baru: Perspektif Multikulturalisme

Indonesia Baru sejatinya merupakan cita-cita reformasi yang dibangun dari perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun Orde Baru. Hakekat cita-cita itu adalah: masyarakat sipil demokratis, penegakan hukum secara adil dan beradab, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya tatanan sosial yang menjamin rasa aman untuk kelancaran produktivitas dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat.

Corak masyarakat yang majemuk (plural society) adalah fakta keniscayaan bangsa Indonesia. Multikulturalisme adalah keyakinan pengakuan terhadap perbedaan individual dan kultural sebagai tonggak kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dalam upaya memaknai 100 tahun Kebangkitan Nasional, perspektif multikultarisme menjadi pilihan masa depan.

Multikulturalisme merupakan bagian dari perjalanan bangsa, yang nyaris hilang dan membuat bangsa ini mengidap amnesia. Sejarah kita terlalu sering hanya mencatat peristiwa-peristiwa politik yang dahsyat dengan mengabaikan akar lokalitas dari mana peristiwa besar itu muncul.

Maka multikulturalisme sebagai realitas yang pasang surut dalam sejarah, tiba saatnya menjadi policy bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena multikulturalisme adalah sebuah relasi makna yang bersentuhan untuk saling memahami eksistensi masing-masing kultur yang bersemayam di negeri ini.

Penutup

Empu Tantular, dalam Kakawin Soetasoma 139, 5c-d, menegaskan “Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa,” artinya “pada hakekatnya yang paling dalam pada Budha dan Siwa adalah satu, keduanya berbeda, tetapi itu satu, tak ada dharma yang mendua”. Dari Kitab Soetasoma itulah para pendiri Republik sepakat menetapkan kata Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan yang layak dicantumkan dalam lambang Negara Indonesia.

Dan realitanya, sejarah tak pernah mengenal jalan pulang. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tak akan pernah balik mundur. Kita hanya mampu mengenang keagungan sejarah silam dan member makna baru bagi perjalanan sejarah kekinian. Maka layak kiranya kita niscaya berupaya “Memaknai Indonesia Baru dalam Bingkai Multikulturalisme” dan memberi aura kekinian Bhineka Tunggal Ika sebagai tonggak Kebangkitan Nasional.

”Rasanya baru kemarin, padahal sudah 63 tahun kita merdeka. Hari ini ingin rasanya aku bertanya, bagaimana rasanya merdeka.” ***

Oleh: Roedy Haryo Widjono AMZ

*) Penulis adalah pegiat Komunitas Studi Silang Budaya. Tinggal di Samarinda

Comments

Popular posts from this blog

APAKAH TELUR NAJIS

Apakah Telur Najis oleh: Kholil Misbach, Lc Ada pertanyaan dari kawan tentang kenajisan telur hal itu dari artikel yang ia baca dalam sebuah postingan blog, dalam postingan tersebut menyatakan bahwa telur adalah najis karena keluar dari dubur ayam sehingga bercampur dengan kotoran ayam yang najis, barang yang kena najis adalah najis pula maka wajib membasuh telur sebelum digunakan. Aku ingin berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara fikih dengan menyebutkan dalil-dalil semampunya. Menurut imam Nawawi dalam Kitabnya Al Majmu' Sebagai berikut: ( فرع) البيض من مأكول اللحم طاهر بالاجماع ومن غيره فيه وجهان كمنيه الاصح الطهارة (Cabang) Telur dari binatang yang dimakan dagingnya adalah suci secara ijmak. Adapun telur yang keluar dari binatang yang tidak dimakan dagingnya ada dua pendapat sebagaimana khilaf dalam maninya, yang paling shahih adalah suci. Keterangan: Jadi telur binatang yang halal dimakan seperti ayam, bebek, angsa, burung dsb adalah suci dan tidak najis. Berbeda dengan t

Terjemah kitab Fathul Wahhab karya Abu Zakaria Al Anshori

 Kitab Ath Thaharah (Bersuci) Kitab secara bahasa adalah menggabungkan dan mengumpulkan, secara istilah adalah nama dari  berbagai kumpulan khusus dari ilmu yang terdiri dari beberapa bab dan pasal biasanya. Thaharah secara bahasa adalah النظافة والخلوص من الادناس  Bersih dan terbebas dari kotoran-kotoran. adapun menurut Syariat thaharah adalah رفع حدث او ازالة نجس او ما في معناهما وعلى صورتهما "Mengangkat hadats atau menghilangkan najis atau sesuai makna keduanya atau sesuai gambarannya seperti tayammum dan mandi-mandi sunnah, tajdidul wudlu (memperbarui wudlu) dan basuhan kedua dan ketiga, semuanya termasuk macam-macam bersuci. (Bersambung)

VATIKANPUN AKAN MENJADI MILIK UMAT ISLAM

oleh: Kholil Misbach, Lc Romawi pada masa terdahulu merupakan negara adidaya yang sangat kuat dan kaya, saking besarnya kekuatan Romawi ini sampai ada surat yang menceritakan kisahnya yaitu surat Ar Rum yang berarti bangsa Romawi, walaupun besar, kuat dan adidaya karena tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya Muhammad saw maka negeri inipun akan hancur dan ditaklukkan oleh kaum muslimin. semoga Allah menjadikan kita sebagai penakluknya.  Sebuah berita bahagia bagi kaum muslimin bahwa vatikanpun kelak akan menjadi milik kaum muslimin, dalam sebuah riwayat:  Beliau bersabda “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.”  [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Dari Abu Qubail berkata: Saat kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu ; Konstantinopel atau Rumiyah?  Abdullah mem