Oleh: Kholil
Di masa perjuangan fisik melawan penjajahan mulai
Portugis, Belanda hingga Jepang bangsa Indonesia juga mengalami berbagai
penghianatan atas perjuangan bangsa. Kita pernah dengar bahwa pasukan yang
menumpas perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda merupakan pasukan Pribumi yang
dibentuk Belanda.
Kalau dulu, pengkhianatan itu berupa fisik dengan
membocorkan rahasia atau bahkan berperang membela musuh bangsa, sekarang
pengkhianatan bisa berupa merongrong ekonomi Bangsa yang berupa Korupsi. Banyak
sekali tokoh-tokoh politik menjadi aktornya.
Politik itu semestinya menjadi ruang untuk mendistribusikan
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tapi malah menjadi porak-poranda di tangan para
politikus yang hanya paham transaksi dan politik Wani Piro. Sebagai contoh, seorang politikus
Setya Novanto yang baru saja divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi KTP
elektronik yang merugikan jutaan rakyat sebesar Rp2,3 triliun sesungguhnya hanya menguatkan
realitas politik yang sangat busuk dan kotor itu.
Hukum positif yang menerungku Novanto sesungguhnya hanya
menunggu waktu. Ia melengkapi deretan para pengkhianat bangsa terdahulu, tiga pemimpin
lembaga tinggi negara: Akil Mochtar (kader Golkar yang menjadi Ketua Mahkamah
Konstitusi) dan Irman Gusman (Ketua Dewan Perwakilan Daerah).
Saya sendiri yakin, di sekitar Novanto masih banyak orang-orang
yang belum ditetapkan tersangka oleh KPK.
Selain itu, Masih ada Patrialis Akbar (mantan poltisi PAN, yang
menjadi hakim Mahkamah Konstitusi). Kurang apa lagi contoh telanjang
pengkhianatan itu. Dalam korupsi, yang masuk genus kejahatan luar biasa, perlu
pula disebut mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, bekas Presiden PKS Luthfi
Hasan Ishaaq, dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum, yang kini masih dibui. Di tangan para
politikus busuk bersemilah demokrasi yang masih muda seperti tampak bertumbuh,
tetapi sesungguhnya rapuh. Akal sehat kita pun berselancar betapa yang belum
terbukti secara hukum, bisa jadi lebih banyak bilangannya.
"Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai
urusan 'uang tunai'. Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan
proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri
dalam pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi
pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran
pembangunan untuk kesejahteraan rakyat," kata pemikir Rocky Gerung dalam
pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 2010. Realitas yang
kini kian parah.
Cerita lama berikut ini menemukan relevansinya di sini. Ketika
seorang wartawan bertanya kepada filsuf Jean-Jacques Rousseau, "Kenapa
demokrasi di Romawi runtuh?" Ia menjawab, "Demokrasi itu ibarat buah
yang bagus untuk pencernaan, tapi hanya lambung yang sehat yang mampu
mencernanya."
Nah, lambung dalam demokrasi kita sungguh tak sehat. Politikus
kita telah menurunkan derajat diri mereka begitu rupa. Mereka yang mestinya
memuliakan suara publik justru menistakannya dengan membeli suara publik.
Mosolini seorang dictator Itali yang menguasai Ethiopia dan
Libya mengatakan bahwa orang yang jiwanya Penghianat akan selamanya
pengkhianat.
Namun, benar sekali pengkhianat selamanya pengkhianat. Dalam
korupsi sedikitnya ia mengkhianati janjinya, sumpahnya, Tuhannya, rakyatnya!
Wajarlah jika harus dihukum berat.
Bahkan koruptor bisa menghilangkan tank-tank Negara, kapal selam
Negara, dan alutsista lainnya karena uang untuk membeli alat-alat tempur Negara
itu sudah dialihkan untuk membeli villa megah, mobil mewah dan berbagai harta kemewahan
untuk dirinya dan keluarganya.
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif