KARTINI VS DEWI SARTIKA
Oleh Adkhilni M. Sidqi
Pembicaraan tentang Kartini seakan tidak pernah habis. Bahkan setelah satu abad lebih ide dan semangat Kartini hidup di bumi nusantara ini, Kartini masih tetap menarik untuk dijadikan obrolan hangat. Terutama pada bulan April ini media masa, baik cetak maupun elektronik, berlomba-lomba mengangkat tokoh feminis itu sebagai tema acara.
Namun, ketika kaum perempuan Indonesia mulai menggeliat kesadarannya dan bergerak memperjuangkan keadilan, penghargaan terhadap Kartini menjadi problematik. Setidaknya ada tiga ‘gugatan’ yang dilayangkan kepadanya.
Pertama, ia dianggap memiliki cacat fatal sebagai pejuang hak perempuan: mau dimadu! Kedua, bertitik tolak dari keraguan terhadap keaslian surat-suratnya yang tak hanya indah dari cita rasa sastra, namun juga mempunyai daya observasi yang tajam terhadap situasi pada masa itu. Orang sering mempertanyakan apakah mungkin seorang gadis berumur 14 tahun mampu menulis seindah itu. Ketiga, berkait dengan menggeliatnya kesadaran menolak Jawa-sentris, terutama dari luar Jawa, Kartini dianggap tokoh Jawa yang tidak representatif bagi Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, dan sebagainya. (Kompas, 22 April 2002)
Gugatan itu sangatlah manusiawi, karena kita terbiasa menempatkan tokoh pada ruang yang dikultuskan. Memuja-mujinya sebagai dewi, tanpa meneladaninya sebagaimana ia melintasi kepahitan hidupnya sebagai perempuan, yang mengalami berbagai kekerasan dan berusaha untuk melawannya, menggugatnya dengan membagi pengalaman dan renungannya kepada perempuan lain.
Kartini vs Dewi Sartika
Bangsa Indonesia setidaknya mengenal dua tokoh besar pergerakan wanita, yaitu Kartini (1879-1904) dan Dewi Sartika (1884-1947). Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik sejalan dengan gugatan terhadap Kartini di atas.
Mengapa Kartini, bukan Dewi Sartika, yang dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia? Bahkan hari kelahiran Kartini diperingati seluruh bangsa Indonesia sebagai hari emansipasi wanita dan namanya mengumandang di mana-mana lewat lagu “Kartini” ciptaan WR. Supratman.
Tetapi anehnya, hari kelahiran Dewi Sartika ‘hanya’ diperingati sebagai hari ibu. Bahkan ketika peringatan hari ibu sekalipun (22 Desember), sosok Dewi Sartika hampir tidak tersinggung sedikit pun. Namanya seolah tidak seharum nama Kartini. Alhasil, orang Indonesia lebih mengenal Kartini dibanding Dewi Sartika.
Padahal dilihat dari hasil perjuangannya. Dewi Sartika lebih terlihat keberhasilannya dalam mewujudkan semua cita-cita luhurnya. Ia telah berhasil membangun sekolah perempuan, sebuah impian yang tidak pernah tercapai oleh Kartini semasa hidup. Dengan kegigihan perjuangan Dewi Sartika, ia berhasil mendirikan Sekolah Isteri pada tahun 1904 (tahun wafat Kartini). Sekolah Kaoetamaan Isteri berkembang pesat, pada tahun 1912 ada sembilan sekolah di berbagai tempat di Pasundan seperti Sumedang, Ciamis, Garut, Tasikmalaya,
Sukabumi, Cianjur, dan Kuningan. Sedangkan Sekolah Kartini baru didirikan 11 tahun setelah kematiannya, itupun atas usaha dan kerja keras Roekmini dan Kardinah (adik-adik Kartini).
Lantas mengapa Kartini tetap dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia? Mengapa bukan Dewi Sartika? Mungkinkah karena Kartini berasal dari Jawa sedangkan Dewi Sartika berasal dari Sunda?
Terlepas dari segala ‘gugatan-gugatan’ di atas. Hal yang sangat essensial, mengapa Kartini dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia, ialah karena Kartini menuangkan segala gagasan dan ide-ide pikirannya dalam bentuk tulisan. Sedangkan Dewi Sartika tidak!
Surat-surat Kartini yang berjumlah lebih dari seratus, ditulis bertahun-tahun dengan tulisan tangan oleh Kartini yang mengungkapkan, rasa senang, sedih, kecewa, putus asa, harapan dan kenyataan. Tulisan-tulisannya bersifat renungan, pemberontakannya diungkap secara monolog. Tulisan itu adalah harta yang tidak ternilai harganya dan merupakan bahan sejarah primer, sehingga dengan mudah apa yang dipikirkan dan diperjuangkan oleh Kartini dapat ditelusuri dan dibaca oleh setiap orang.
Lewat tulisannya itu Kartini dikenal tidak hanya di Belanda dan Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Karena kumpulan suratnya dibukukan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan dibaca banyak orang.
Jika surat-surat Kartini tidak dipublikasikan, apakah Kartini tidak akan dikenal orang? Betul, lantas mengapa kumpulan surat Kartini dipublikasikan? Karena mempunyai nilai lebih. Karena orang berpendapat bahwa ide dan semangat Kartini patut disebarluaskan.
Kedekatan Kartini dengan beberapa orang-orang Belanda, turut mengharumkan nama Kartini di mata dunia. Sejak tahun 1899 (saat Kartini berusia 20 tahun) ia mulai berkorenspondensi dengan orang-orang Eropa seperti: suami-istri JH Abendandon Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda yang berkepentingan terhadap politik etis; Estella H Zeehandelaar, seorang dengan paham sosialis liberal yang kental; antropolog Dr N Adriani yang keberpihakannya terhadap rakyat jajahan sangat tinggi; suami-istri Van Kol; dan Ny Ovink Soer yang dipanggilnya ibu.
Sehingga tidak heran, buku kumpulan surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang” (Door Duisternis tot Licht) pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 di Belanda atas prakarsa Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr JH Abendanon.
Kesimpulan
Kartini mempunyai kemampuan mengungkapkan serta menggambarkan peristiwa yang dialaminya dalam bentuk tulisan yang sangat bagus, sehingga proses perjuangan Kartini dengan sangat indah, lengkap terekam di dalam bentuk tulisan, yang hampir tidak dipunyai oleh pejuang wanita lainnya.
Seperti kebanyakan tokoh-tokoh pejuang dunia lainnya. Mereka semua menggunakan tulisannya sebagai sebuah provokasi (mempengaruhi pikiran orang lain). Sebutlah Imam Ghazali dengan “Ihya Ulumudin”, Darwin dengan “The Origin of Species”, Karl Marx dengan “Das Kapital”, dan Nicollo Machiavelli dengan “Il Principe”. Mereka adalah tokoh pejuang intelektual yang mampu membius sekaligus memprovokasi dunia lewat tulisannya. Kartini adalah termasuk dari deretan orang-orang di atas.
Kartini dengan segala keyakinannya terus berusaha untuk memajukan kaum hawa dan membuatnya sejajar dengan lelaki dalam bidang pendidikan. Kartini telah menyimpan percikan-percikan pikirannya dalam bentuk tulisan sehingga suatu saat nanti, Kartini yakin, percikan itu membesar dan berkobar sebagai api semangat perjuangan.
Walaupun Kartini sendiri, menurut Roekmini, seperti dikutip Sulastin Sutrisno dalam Kartini (1989), sudah merasa sebelumnya bahwa ia tidak akan hidup panjang dan tidak akan menyaksikan perwujudan cita-citanya. Tapi ia terus menulis dan tetap menulis!***
(Pernah dimuat di Fajar Banten, 21 April 2003)
Oleh Adkhilni M. Sidqi
Pembicaraan tentang Kartini seakan tidak pernah habis. Bahkan setelah satu abad lebih ide dan semangat Kartini hidup di bumi nusantara ini, Kartini masih tetap menarik untuk dijadikan obrolan hangat. Terutama pada bulan April ini media masa, baik cetak maupun elektronik, berlomba-lomba mengangkat tokoh feminis itu sebagai tema acara.
Namun, ketika kaum perempuan Indonesia mulai menggeliat kesadarannya dan bergerak memperjuangkan keadilan, penghargaan terhadap Kartini menjadi problematik. Setidaknya ada tiga ‘gugatan’ yang dilayangkan kepadanya.
Pertama, ia dianggap memiliki cacat fatal sebagai pejuang hak perempuan: mau dimadu! Kedua, bertitik tolak dari keraguan terhadap keaslian surat-suratnya yang tak hanya indah dari cita rasa sastra, namun juga mempunyai daya observasi yang tajam terhadap situasi pada masa itu. Orang sering mempertanyakan apakah mungkin seorang gadis berumur 14 tahun mampu menulis seindah itu. Ketiga, berkait dengan menggeliatnya kesadaran menolak Jawa-sentris, terutama dari luar Jawa, Kartini dianggap tokoh Jawa yang tidak representatif bagi Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Sulawesi, dan sebagainya. (Kompas, 22 April 2002)
Gugatan itu sangatlah manusiawi, karena kita terbiasa menempatkan tokoh pada ruang yang dikultuskan. Memuja-mujinya sebagai dewi, tanpa meneladaninya sebagaimana ia melintasi kepahitan hidupnya sebagai perempuan, yang mengalami berbagai kekerasan dan berusaha untuk melawannya, menggugatnya dengan membagi pengalaman dan renungannya kepada perempuan lain.
Kartini vs Dewi Sartika
Bangsa Indonesia setidaknya mengenal dua tokoh besar pergerakan wanita, yaitu Kartini (1879-1904) dan Dewi Sartika (1884-1947). Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik sejalan dengan gugatan terhadap Kartini di atas.
Mengapa Kartini, bukan Dewi Sartika, yang dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia? Bahkan hari kelahiran Kartini diperingati seluruh bangsa Indonesia sebagai hari emansipasi wanita dan namanya mengumandang di mana-mana lewat lagu “Kartini” ciptaan WR. Supratman.
Tetapi anehnya, hari kelahiran Dewi Sartika ‘hanya’ diperingati sebagai hari ibu. Bahkan ketika peringatan hari ibu sekalipun (22 Desember), sosok Dewi Sartika hampir tidak tersinggung sedikit pun. Namanya seolah tidak seharum nama Kartini. Alhasil, orang Indonesia lebih mengenal Kartini dibanding Dewi Sartika.
Padahal dilihat dari hasil perjuangannya. Dewi Sartika lebih terlihat keberhasilannya dalam mewujudkan semua cita-cita luhurnya. Ia telah berhasil membangun sekolah perempuan, sebuah impian yang tidak pernah tercapai oleh Kartini semasa hidup. Dengan kegigihan perjuangan Dewi Sartika, ia berhasil mendirikan Sekolah Isteri pada tahun 1904 (tahun wafat Kartini). Sekolah Kaoetamaan Isteri berkembang pesat, pada tahun 1912 ada sembilan sekolah di berbagai tempat di Pasundan seperti Sumedang, Ciamis, Garut, Tasikmalaya,
Sukabumi, Cianjur, dan Kuningan. Sedangkan Sekolah Kartini baru didirikan 11 tahun setelah kematiannya, itupun atas usaha dan kerja keras Roekmini dan Kardinah (adik-adik Kartini).
Lantas mengapa Kartini tetap dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia? Mengapa bukan Dewi Sartika? Mungkinkah karena Kartini berasal dari Jawa sedangkan Dewi Sartika berasal dari Sunda?
Terlepas dari segala ‘gugatan-gugatan’ di atas. Hal yang sangat essensial, mengapa Kartini dinobatkan sebagai tokoh emansipasi Indonesia, ialah karena Kartini menuangkan segala gagasan dan ide-ide pikirannya dalam bentuk tulisan. Sedangkan Dewi Sartika tidak!
Surat-surat Kartini yang berjumlah lebih dari seratus, ditulis bertahun-tahun dengan tulisan tangan oleh Kartini yang mengungkapkan, rasa senang, sedih, kecewa, putus asa, harapan dan kenyataan. Tulisan-tulisannya bersifat renungan, pemberontakannya diungkap secara monolog. Tulisan itu adalah harta yang tidak ternilai harganya dan merupakan bahan sejarah primer, sehingga dengan mudah apa yang dipikirkan dan diperjuangkan oleh Kartini dapat ditelusuri dan dibaca oleh setiap orang.
Lewat tulisannya itu Kartini dikenal tidak hanya di Belanda dan Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Karena kumpulan suratnya dibukukan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan dibaca banyak orang.
Jika surat-surat Kartini tidak dipublikasikan, apakah Kartini tidak akan dikenal orang? Betul, lantas mengapa kumpulan surat Kartini dipublikasikan? Karena mempunyai nilai lebih. Karena orang berpendapat bahwa ide dan semangat Kartini patut disebarluaskan.
Kedekatan Kartini dengan beberapa orang-orang Belanda, turut mengharumkan nama Kartini di mata dunia. Sejak tahun 1899 (saat Kartini berusia 20 tahun) ia mulai berkorenspondensi dengan orang-orang Eropa seperti: suami-istri JH Abendandon Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda yang berkepentingan terhadap politik etis; Estella H Zeehandelaar, seorang dengan paham sosialis liberal yang kental; antropolog Dr N Adriani yang keberpihakannya terhadap rakyat jajahan sangat tinggi; suami-istri Van Kol; dan Ny Ovink Soer yang dipanggilnya ibu.
Sehingga tidak heran, buku kumpulan surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang” (Door Duisternis tot Licht) pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 di Belanda atas prakarsa Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr JH Abendanon.
Kesimpulan
Kartini mempunyai kemampuan mengungkapkan serta menggambarkan peristiwa yang dialaminya dalam bentuk tulisan yang sangat bagus, sehingga proses perjuangan Kartini dengan sangat indah, lengkap terekam di dalam bentuk tulisan, yang hampir tidak dipunyai oleh pejuang wanita lainnya.
Seperti kebanyakan tokoh-tokoh pejuang dunia lainnya. Mereka semua menggunakan tulisannya sebagai sebuah provokasi (mempengaruhi pikiran orang lain). Sebutlah Imam Ghazali dengan “Ihya Ulumudin”, Darwin dengan “The Origin of Species”, Karl Marx dengan “Das Kapital”, dan Nicollo Machiavelli dengan “Il Principe”. Mereka adalah tokoh pejuang intelektual yang mampu membius sekaligus memprovokasi dunia lewat tulisannya. Kartini adalah termasuk dari deretan orang-orang di atas.
Kartini dengan segala keyakinannya terus berusaha untuk memajukan kaum hawa dan membuatnya sejajar dengan lelaki dalam bidang pendidikan. Kartini telah menyimpan percikan-percikan pikirannya dalam bentuk tulisan sehingga suatu saat nanti, Kartini yakin, percikan itu membesar dan berkobar sebagai api semangat perjuangan.
Walaupun Kartini sendiri, menurut Roekmini, seperti dikutip Sulastin Sutrisno dalam Kartini (1989), sudah merasa sebelumnya bahwa ia tidak akan hidup panjang dan tidak akan menyaksikan perwujudan cita-citanya. Tapi ia terus menulis dan tetap menulis!***
(Pernah dimuat di Fajar Banten, 21 April 2003)
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif