O. Solihin
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa sebagian dari para sahabat Rasul ketika turun ayat: “Bagi Allah kekuasaan langit dan bumi, apabila kamu keluarkan isi hatimu atau tetap kamu sembunyikan akan diperhitungkan oleh Allah.” Ternyata para sahabat sempat mengeluh kepada Rasulullah Saw bahwa mereka tidak lagi bisa melaksanakan apa yang diperintahkan Allah karena mereka sudah merasa begitu banyak melakukan amal kebaikan. Mendengar keluhan sebagian sahabatnya itu Rasulullah lalu menjelaskan bahwa perilaku tersebut tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim. Seharusnya bila Allah memerintahkan sesuatu kaum Muslimin harus mengatakan, “Kami mendengar dan mentaati” bukan malah melaksanakan pembangkangan.” (Terjemah Riadhus Shalihin, jld. I, hal. 178-179). Inilah cara bagaimana kita menghargai Allah.
Menghargai kadang kala menjadi sesuatu yang berat. Mudah diucapkan tetapi sulit dalam prakteknya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang begitu sulit menghargai orang lain. Padahal orang lain pun sama seperti kita. Mereka, sebagai manusia normal tentu saja membutuhkan perhatian, penghargaan dan juga kecintaan. Keberadaannya di dalam kehidupan tidak ingin hanya dianggap bilangan saja, tetapi juga diperhitungkan. Inilah perwujudan dari naluri mempertahankan diri (gharizah al baqa).
Ketika kita harus berusaha untuk menghargai seseorang, maka saat itulah kita harus bisa menjadi orang yang mampu memberikan segalanya. Ketika menghargai orangtua kita, tentu saja kita harus bisa menjadikan mereka senang dan mengikuti segala titahnya. Mengikuti perintahnya, ini adalah perwujudan dari menghargai orangtua kita. Maka, alangkah indahnya bila ternyata kita pun bisa dan terbiasa menghargai Allah sebagai Pencipta alam, manusia dan kehidupan ini. Menjadikan Allah sebagai dzat yang wajib disembah, jelas merupakan suatu ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya sebagai seorang hamba. Dan tentu saja ini adalah sebuah penghargaan yang besar kepada Allah.
Dengan demikian, bila kita telah menyatakan ingin menghargai Allah, maka kita harus memposisikan diri sebagai seorang yang mampu melaksanakan segala perintah-Nya. Karena dengan melaksanakan keinginan dan perintah dan juga menghindari larangan-Nya, kita sudah menghargai Allah. Bila tidak, tentu saja kita tak menghargai Allah. Firman Allah:
“Sesungguhnya sambutan orang mukmin apabila diajak kepada Allah dan Rasulullah untuk menghukumi antara mereka, ialah berkata: ‘Kami mendengar dan taat’. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nûr [24]: 51).
Mendengar dan mentaati segala seruannya adalah wujud dari penghargaan yang besar kepada Allah.
Namun, amat disayangkan bahwa kondisi kaum Muslimin saat ini jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka lebih memilih tidak menghargai Allah. Betapa banyak dari kaum Muslimin yang tidak memperhatikan larangan-larangan-Nya. Budaya menenggak minuman keras, berjudi, kehidupan seks bebas, narkotika, maraknya pornografi dan bentuk kemaksiatan lainnya adalah wujud pembangkangan sebagian kaum Muslimin kepada Allah. Tentu saja dalam hal sebagian kaum muslimin —tentu yang melakukan kemaksiatan— sudah tidak menghargai lagi Allah sebagai Pencipta dan dzat yang wajib disembah.
Ya, sering kali kita egois dan merasa ingin dihargai orang lain. Namun kita juga sering lupa kalau harus menghargai orang lain. Kata pepatah, bila kita ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Jadi, sesama manusia saja kita harus saling menghargai, apalagi kepada Allah? Wallahu’alam bish showab.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa sebagian dari para sahabat Rasul ketika turun ayat: “Bagi Allah kekuasaan langit dan bumi, apabila kamu keluarkan isi hatimu atau tetap kamu sembunyikan akan diperhitungkan oleh Allah.” Ternyata para sahabat sempat mengeluh kepada Rasulullah Saw bahwa mereka tidak lagi bisa melaksanakan apa yang diperintahkan Allah karena mereka sudah merasa begitu banyak melakukan amal kebaikan. Mendengar keluhan sebagian sahabatnya itu Rasulullah lalu menjelaskan bahwa perilaku tersebut tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim. Seharusnya bila Allah memerintahkan sesuatu kaum Muslimin harus mengatakan, “Kami mendengar dan mentaati” bukan malah melaksanakan pembangkangan.” (Terjemah Riadhus Shalihin, jld. I, hal. 178-179). Inilah cara bagaimana kita menghargai Allah.
Menghargai kadang kala menjadi sesuatu yang berat. Mudah diucapkan tetapi sulit dalam prakteknya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita kadang begitu sulit menghargai orang lain. Padahal orang lain pun sama seperti kita. Mereka, sebagai manusia normal tentu saja membutuhkan perhatian, penghargaan dan juga kecintaan. Keberadaannya di dalam kehidupan tidak ingin hanya dianggap bilangan saja, tetapi juga diperhitungkan. Inilah perwujudan dari naluri mempertahankan diri (gharizah al baqa).
Ketika kita harus berusaha untuk menghargai seseorang, maka saat itulah kita harus bisa menjadi orang yang mampu memberikan segalanya. Ketika menghargai orangtua kita, tentu saja kita harus bisa menjadikan mereka senang dan mengikuti segala titahnya. Mengikuti perintahnya, ini adalah perwujudan dari menghargai orangtua kita. Maka, alangkah indahnya bila ternyata kita pun bisa dan terbiasa menghargai Allah sebagai Pencipta alam, manusia dan kehidupan ini. Menjadikan Allah sebagai dzat yang wajib disembah, jelas merupakan suatu ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya sebagai seorang hamba. Dan tentu saja ini adalah sebuah penghargaan yang besar kepada Allah.
Dengan demikian, bila kita telah menyatakan ingin menghargai Allah, maka kita harus memposisikan diri sebagai seorang yang mampu melaksanakan segala perintah-Nya. Karena dengan melaksanakan keinginan dan perintah dan juga menghindari larangan-Nya, kita sudah menghargai Allah. Bila tidak, tentu saja kita tak menghargai Allah. Firman Allah:
“Sesungguhnya sambutan orang mukmin apabila diajak kepada Allah dan Rasulullah untuk menghukumi antara mereka, ialah berkata: ‘Kami mendengar dan taat’. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nûr [24]: 51).
Mendengar dan mentaati segala seruannya adalah wujud dari penghargaan yang besar kepada Allah.
Namun, amat disayangkan bahwa kondisi kaum Muslimin saat ini jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka lebih memilih tidak menghargai Allah. Betapa banyak dari kaum Muslimin yang tidak memperhatikan larangan-larangan-Nya. Budaya menenggak minuman keras, berjudi, kehidupan seks bebas, narkotika, maraknya pornografi dan bentuk kemaksiatan lainnya adalah wujud pembangkangan sebagian kaum Muslimin kepada Allah. Tentu saja dalam hal sebagian kaum muslimin —tentu yang melakukan kemaksiatan— sudah tidak menghargai lagi Allah sebagai Pencipta dan dzat yang wajib disembah.
Ya, sering kali kita egois dan merasa ingin dihargai orang lain. Namun kita juga sering lupa kalau harus menghargai orang lain. Kata pepatah, bila kita ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Jadi, sesama manusia saja kita harus saling menghargai, apalagi kepada Allah? Wallahu’alam bish showab.
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif