Keseimbangan Baru Rupiah
Muslimin Anwar
Ekonom Universitas Indonesia
Rabu, 3 Desember 2008
Angin segar tampaknya belum juga berpihak kepada kita. Nilai rupiah terus tertekan dan terdepresiasi 37,37% dari Rp 9.345 pada 15 September 2008, sesaat sebelum krisis, menjadi Rp 12.837 per dolar AS pada 30 November 2008.
Namun, depresiasi rupiah masih sedikit lebih baik dibanding won Korea (41%). Rupiah memang tidak setangguh bath Thailand yang terdepresiasi 2,2%, dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan peso Filipina yang terdepresiasi masing-masing 5,6%, 5,1%, dan 4,4%.
Fakta itu menyiratkan belum ampuhnya sepuluh langkah pengamanan rupiah yang dicanangkan pemerintah pada 28 Oktober 2008. Masyarakat pun semakin cemas: bahwa pengalaman buruk krisis 1998 akan terulang kembali, dan rupiah terus terpuruk hingga level Rp 18.000 per dolar AS.
Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu terjadi bila kita memperhatikan beberapa indikator. Pertama, depresiasi rupiah saat ini hanya disebabkan faktor ekonomi. Sedangkan pelemahan rupiah satu dekade lalu, selain disebabkan faktor ekonomi, juga diperparah oleh krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan Soeharto.
Artinya, ketika itu ada faktor politik yang membonceng krisis ekonomi. Dalam kegamangan politik, kebanyakan orang lebih memilih memegang mata uang kuat dunia, hard currency is the king. Jadi, tidak mengherankan jika rupiah terjun bebas dengan cepat.
Kedua, sebelum krisis keuangan meletus di AS, September lalu, sebenarnya rupiah sudah menunjukkan indikasi overvalued. Itu mendorong peningkatan impor, sementara nilai ekspor justru menurun. Surplus transaksi berjalan saat ini (10 miliar dolar AS) jauh di bawah surplus tahun lalu (40 miliar dolar AS).
Maka, rupiah pun terkoreksi. Sayangnya, itu bersamaan dengan krisis global sehingga rupiah semakin jatuh.
Sebagaimana mata uang di berbagai negara, rupiah kini sedang mencari equilibrium (titik keseimbangan) baru. Titik keseimbangan itu bisa saja mencapai Rp 9.500 per dolar AS seperti usulan Menkeu Sri Mulyani dalam raker dengan Panitia Anggaran DPR.
Ada beberapa alasan pendukung. Pertama, pelemahan rupiah akan membuat daya saing produk Indonesia meningkat. Bila upaya diversifikasi ekspor dilakukan, maka ekspor terjaga pada level positif. Depresiasi rupiah saat ini akan menekan impor. Dengan demikian, surplus transaksi berjalan diperkirakan kembali meningkat.
Kedua, selisih suku bunga domestik dan luar negeri tetap menjadi daya tarik investor asing untuk menempatkan dana di Indonesia. Ini akan meningkatkan cadangan devisa negara dan menguatkan rupiah.
Ketiga, adanya opsi bagi pemerintah AS untuk mencetak uang baru ketimbang menerbitkan obligasi dalam mengimplementasikan program bail-out pertama senilai 700 miliar AS dan bail-out selanjutnya senilai 800 miliar dolar AS. Bila ini terjadi, maka kekeringan likuiditas pasar yang membuat rupiah tertekan akan mengalami kondisi sebaliknya.***]
Muslimin Anwar
Ekonom Universitas Indonesia
Rabu, 3 Desember 2008
Angin segar tampaknya belum juga berpihak kepada kita. Nilai rupiah terus tertekan dan terdepresiasi 37,37% dari Rp 9.345 pada 15 September 2008, sesaat sebelum krisis, menjadi Rp 12.837 per dolar AS pada 30 November 2008.
Namun, depresiasi rupiah masih sedikit lebih baik dibanding won Korea (41%). Rupiah memang tidak setangguh bath Thailand yang terdepresiasi 2,2%, dolar Singapura, ringgit Malaysia, dan peso Filipina yang terdepresiasi masing-masing 5,6%, 5,1%, dan 4,4%.
Fakta itu menyiratkan belum ampuhnya sepuluh langkah pengamanan rupiah yang dicanangkan pemerintah pada 28 Oktober 2008. Masyarakat pun semakin cemas: bahwa pengalaman buruk krisis 1998 akan terulang kembali, dan rupiah terus terpuruk hingga level Rp 18.000 per dolar AS.
Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu terjadi bila kita memperhatikan beberapa indikator. Pertama, depresiasi rupiah saat ini hanya disebabkan faktor ekonomi. Sedangkan pelemahan rupiah satu dekade lalu, selain disebabkan faktor ekonomi, juga diperparah oleh krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan Soeharto.
Artinya, ketika itu ada faktor politik yang membonceng krisis ekonomi. Dalam kegamangan politik, kebanyakan orang lebih memilih memegang mata uang kuat dunia, hard currency is the king. Jadi, tidak mengherankan jika rupiah terjun bebas dengan cepat.
Kedua, sebelum krisis keuangan meletus di AS, September lalu, sebenarnya rupiah sudah menunjukkan indikasi overvalued. Itu mendorong peningkatan impor, sementara nilai ekspor justru menurun. Surplus transaksi berjalan saat ini (10 miliar dolar AS) jauh di bawah surplus tahun lalu (40 miliar dolar AS).
Maka, rupiah pun terkoreksi. Sayangnya, itu bersamaan dengan krisis global sehingga rupiah semakin jatuh.
Sebagaimana mata uang di berbagai negara, rupiah kini sedang mencari equilibrium (titik keseimbangan) baru. Titik keseimbangan itu bisa saja mencapai Rp 9.500 per dolar AS seperti usulan Menkeu Sri Mulyani dalam raker dengan Panitia Anggaran DPR.
Ada beberapa alasan pendukung. Pertama, pelemahan rupiah akan membuat daya saing produk Indonesia meningkat. Bila upaya diversifikasi ekspor dilakukan, maka ekspor terjaga pada level positif. Depresiasi rupiah saat ini akan menekan impor. Dengan demikian, surplus transaksi berjalan diperkirakan kembali meningkat.
Kedua, selisih suku bunga domestik dan luar negeri tetap menjadi daya tarik investor asing untuk menempatkan dana di Indonesia. Ini akan meningkatkan cadangan devisa negara dan menguatkan rupiah.
Ketiga, adanya opsi bagi pemerintah AS untuk mencetak uang baru ketimbang menerbitkan obligasi dalam mengimplementasikan program bail-out pertama senilai 700 miliar AS dan bail-out selanjutnya senilai 800 miliar dolar AS. Bila ini terjadi, maka kekeringan likuiditas pasar yang membuat rupiah tertekan akan mengalami kondisi sebaliknya.***]
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif