Pengantar Mengenal Turast Hadits
Oleh; Zainul Abidin, Lc.
Pendahuluan
Hadits merupakan salah satu pilar utama penyangga bangunan Islam setelah al-Quran. Oleh karena itu, hadits menempati posisi yang sangat penting di kalangan umat Islam. Sebagaimana juga hadits merupakan bagian tak terpisahkan dalam hazanah keilmuan Islam. Dari sejak zaman munculnya sampai sekarang, hadits selalu menjadi objek kajian penting di kangan ulama. Hal yang demikian itu tidaklah mengherankan, jika melihat urgensi hadits dalam konstelasi ajaran Islam itu sendiri.
Sejarah mencatat bahwa hadits sampai kepada kita melalui sebuah proses transmisi yang solid dari zaman ke zaman. Dan dari proses transmisi inilah muncul benih-benih yang menjadi titik tolak perkembangan ilmu hadits. Ilmu hadits dalam perkembangannya terkelompokkan menjadi dua bagian penting, ilmu hadîts riwâyah dan ilmu hadîts dirâyah. Diantara keduanya itu, yang muncul pertama kali adalah ilmu hadîts riwâyah.
Kemunculannya ditandai dengan munculnya hadits yang pertama kali diriwayatkan dari Rasulullah Saw, yaitu hadits permulaan wahyu. Dari sinilah ilmu hadits riwâyah mulai di kenal, lalu berkembang seiring dengan proses transmisi yang berkesinambungan. Adapun ilmu hadîts dirâyah juga sudah mulai muncul sejak masa-masa awal proses transmisi. Hal yang demikian itu adalah sebuah keniscayaan, karena sebuah proses transmisi tidak akan berjalan dengan solid tanpa diiringi proses otentifikasi. Dan proses otentifikasi inilah yang membidani lahirnya ilmu hadîts dirâyah dengan berbagai cabangnya. Kemudian dari kedua kelompok ilmu hadits ini, kita akan mencoba untuk mengenal lebih jauh turats hadits dan sejarah perkembangannya dari masa ke masa.
Dalam makalah ini, saya akan mencoba untuk menguraikan sedikit tentang ilmu hadits dan sejarah perkembangannya, sebagai sebuah pengantar untuk mengenal lebih dalam turats hadits yang telah menghiasi hasanah keilmuan Islam. Pembahasan dalam makalah ini akan saya bagi menjadi dua bagian, yang pertama mengenai sejarah dan perkembangan ilmu hadits pra kodifikasi, dan yang kedua mengenai sejarah dan perkembangan ilmu hadits paska kodifikasi.
Sejarah dan perkembangan ilmu hadits pra kodifikasi
1. Ilmu hadîts riwâyah pra kodifikasi
Masa pra kodifikasi hadits dimulai dari sejak munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, sampai turunnya perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada para ulama untuk melakukan kodifikasi hadits. Dengan demikian, rentang waktu yang dilalui masa pra kodifikasi ini mencakup dua periode penting dalam sejarah transmisi hadits, yaitu periode kenabian dan periode sahabat. Pada dua periode ini metode transmisi yang digunakan kebanyakan adalah metode lisan. Meskipun demikian, tidak sedikit juga para sahabat yang melakukan pencatatan hadits secara personal, dan itu mendapatkan izin dari Rasulullah Saw. Benar pada permulaan turunnya wahyu, Rasulullah Saw pernah melarang para sahabat untuk mencatat selain al-Quran. Akan tetapi larangan tersebut bukanlah larangan yang bersifat mutlak, atau larangan tersebut merupakan larangan yang bersifat sementara, sampai para sahabat benar-benar dapat membedakan antara al-Quran dan yang lainnya. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa sahabat yang mendapatkan izin dari beliau untuk melakukan pencatatan hadits, seperti Abdullah bin Amr ra, Rafi' bin Khadij ra, Abu Syah dan yang lainnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada masa pra kodifikasi ini sebagian besar hadits telah ditransmisikan melalui lisan dan hafalan. Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi tingkat keotentikan hadits-hadits tersebut. Karena para sahabat yang menjadi agen transmiter dalam hal ini, disamping sosok mereka yang sangat loyal terhadap Rasul Saw dan terpercaya, mereka juga dikaruniai hafalan yang kuat, sehingga dengan itu, kemampuan mereka untuk mentransmisikan hadits dari Rasulullah Saw secara akurat tidak diragukan lagi. Selain itu, metode lisan ini juga tidak menafikan adanya sejumlah sahabat yang telah mentransmisikan hadits melalui catatan-catatan yang mereka buat. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya bebrerapa shahifah yang pernah ditulis pada rentang masa tersebut. Berikut ini adalah beberapa nama shahifah yang dimaksud,
1. Shahîfah ash-Shadiqah, ditulis oleh Abdullah bin Amr ra.
2. Shahîfah Jabir bin Abdullah ra.
3. Shahîfah Ali bin Abi Thalib ra.
4. Shahîfah Hammam bin Munabbih, ditulis oleh Hammam dari riwayat Abu Hurairah ra.
5. Shahîfah Samurah bin Jundub ra.
6. Shahîfah Sa'd bin Ubadah ra.
2. Ilmu hadits dirâyah pra kodifikasi
Pada masa pra kodifikasi ini, sudah mulai muncul benih-benih yang akan menjadi titik tolak berkembangnya ilmu hadîts dirâyah. Hal itu dapat dilihat dari sikap para sahabat yang sangat teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Sikap tatsabbut yang diperlihatkan oleh para sahabat tersebut merupakan titik awal dalam sejarah perkembangan ilmu hadîts dirâyah. Kemudian paska terjadinya fitnah, sikap yang demikian itu semakin nampak ke permukaan. Hal itu telah digambarkan oleh Ibnu Abbas ra. dengan jelas, dia berkata, "Jika kami mendengar ada seseorang berkata, "Rasulullah Saw bersabda", maka kami langsung mendatanginya, dan mendengarkan apa yang dikatakannya. Lalu ketika orang-orang sudah mulai melakukan apa saja, tanpa membedakan antara hal yang terpuji dan yang tercela (paska terjadinya fitnah), maka kami tidak mengambil (hadits) dari mereka, kecuali apa yang kami tahu (kebenarannya)".
Sikap tatsabbut yang dikembangkan oleh para sahabat tersebut merupakan sebuah bentuk usaha otentifikasi hadits. Dan itu merupakan inti dari ilmu hadîts dirâyah itu sendiri. Karena ilmu hadîts dirâyah sebenarnya adalah bentuk aplikasi dari usaha otentifikasi yang dilakukan oleh para ulama.
Sejarah dan perkembangan ilmu hadits paska kodifikasi
1. Ilmu hadîts riwâyah paska kodifikasi
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H.) merupakan aktor penting dalam sejarah kodifikasi hadits. Beliaulah orang yang pertama kali menyerukan secara resmi kepada semua ulama untuk mengumpulkan hadits-hadits yang masih terpencar dan mencatatnya dalam sebuah buku. Salah satu ulama yang beliau minta untuk melakukan hal itu adalah Ibnu Syihab az-Zuhri (125 H.) Kemudian setelah era az-Zuhri, gerakan kodifikasi terus mengalami perkembangan, sampai akhirnya mencapai masa keemasan pada abad ke tiga hijriyah. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan kodifikasi tersebut, para ulama tidaklah menempuh satu metode saja. Hal itu dapat kita ketahui melalui hasil-hasil karya mereka yang beragam selama kurun waktu paska kodifikasi tersebut. Masa awal kodifikasi banyak dari mereka yang menggunakan metode mushannafât, kemudian setelah itu muncul penulisan dengan metode masânid, lalu jawâmi' dan sunan, hingga abad keempat hijriyah muncul metode mustadrakât dan ma'âjim.
Berikut ini adalah beberapa karya besar para ulama paska kodifikasi, dari sejak awal masa kodifikasi, sampai pada abad keempat hijriyah.
Karya-karya ulama pada abad ke dua hijriyah,
1. as-Sunan, karya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (150 H)
2. as-Sunan, karya Muhammad bin Ishaq bin Yasar (151 H)
3. al-Jami', karya Ma'mar bin Rasyid (153 H)
4. al-Muwatha', karya Ibnu Abi Dzi'b (156 H)
5. as-Sunan, Ibnu Abi Arubah (157 H)
6. al-Muwatha', karya Malik bin Anas (179 H)
7. az-Zuhd, karya Abdullah ibnul Mubarak (181 H)
Dan masih banyak lagi, baik karya-karya yang sampai kepada kita atau pun yang tidak.
Karya-karya ulama pada abad ke tiga hijriyah,
1. Musnad Abu Dawud ath-Thayalisi (204 H)
2. Mushannaf Abdurrazaq, karya Abdurrazaq bin Hammam (211 H)
3. Musnad al-Humaidi (219 H)
4. as-Sunan, karya Sa'id bin Manshur (227 H)
5. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235 H)
6. Kutubuttis'ah minus al-Muwatha' Malik
7. Musnad Ishaq bin Rahuyah (238 H), dan yang lainnya.
Karya-karya Ulama abad ke empat hijriyah,
1. Shahih Ibnu Hibban (354 H)
2. Ma'ajim, as-Shaghir, al-Wasth dan al-Kabir, semuanya karya ath-Thabrani (360 H)
3. Sunan ad-Daruquthni (385 H)
4. Mustadrak al-Hakim (405 H), dan yang lainnya
2. Ilmu hadîts dirâyah paska kodifikasi
Ilmu hadîts dirâyah pada masa paska kodifikasi ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, seiring dengan berkembangnya ilmu hadîts riwâyah. Pada awal masa kodifikasi, ilmu ini diperkenalkan oleh para ulama secara tercampur dalam karya-karya mereka yang mempunyai kosentrasi lain, seperti ilmu riwâyah dan disiplin ilmu lainnya. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi'i dalam kitabnya ar-Risalah, kemudian Imam Muslim dalam Muqaddimah shahih-nya, dan juga Imam at-Tirmidzi dalam kitab ilal-nya. Baru kemudian pada abad keempat hijriyah datang Imam ar-Ramahurmuzi (360 H) yang membuat sebuah karya terpisah dalam kosentrasi ilmu dirâyah. Kitabnya yang berjudul al-Muhaddits al-Fâshil Bainar Râwî Wal Wâ'î merupakan kitab yang pertama kali ditulis secara terpisah dalam ilmu hadîts dirâyah. Kemudian setelah itu, satu persatu ulama mulai mulakukan kodifikasi secara terpisah terhadap ilmu hadîts dirâyah. Berikut ini adalah jadwal karya-karya ulama dalam disiplin ilmu ini,
Karya-karya pra Ibnu Shalah,
1. al-Muhaddits al-Fâshil Bainar Râwî Wal Wâ'î, karya ar-Ramahurmuzi (360 H)
2. Ma'rifatu Ulûmil Hadîts, karya al-Hakim (405 H)
3. al-Kifâyah Fi Ilmir Riwâyah, karya al-Khathib al-Baghdadi (463 H)
Karya-karya paska Ibnu Shalah,
1. Ma'rifatu Anwâ'i Ilmil Hadîts, karya Ibnu Shalah (643 H)
2. al-Iqtirah Fi Bayânil Ishthilâh, karya Ibnu Daqiq al-Id (702 H)
3. al-Mûqizhah, karya adz-Dzahabi (748 H)
4. Ikhtishâr Ulûmil Hadîts, karya Ibnu Katsir (774 H)
5. at-Taqyîd Wal Idhah, karya al-Iraqi (806 H)
6. Nuzhatun Nazhar, karya Ibnu Hajar (852 H)
7. Fathul Mughîts Syarhu Alfiyatil Hadîts, karya as-Sakhawi (902 H)
8. Tadrîbur Râwî, karya as-Suyuthi (911 H)
9. Taudhîhul Afkar Li Ma'ani Tanqîhul Atsar, karya ash-Shan'ani (1182 H), dan yang lainnya.
Penutup
Demikianlah makalah ini saya sampaikan, semoga dapat bermanfaat, dan memberikan gambaran singkat kepada kita tentang turats ilmu hadits. Adapun apa yang saya sampaikan ini tentu banyak kekurangannya, karena hanya sebatas apa yang saya ketahui. Dan khusus mengenai pembahasan ilmu dirâyah, saya senganja hanya membahas salah satu cabangnya saja, yaitu ilmu mushthalah, hal itu karena cabang-cabang yang lainnya membutuhkan pembahasan tersendiri, sehingga tidak mungkin untuk dijelaskan dalam satu makalah sekaligus. Wallahu a'lam bish shawab.
Oleh; Zainul Abidin, Lc.
Pendahuluan
Hadits merupakan salah satu pilar utama penyangga bangunan Islam setelah al-Quran. Oleh karena itu, hadits menempati posisi yang sangat penting di kalangan umat Islam. Sebagaimana juga hadits merupakan bagian tak terpisahkan dalam hazanah keilmuan Islam. Dari sejak zaman munculnya sampai sekarang, hadits selalu menjadi objek kajian penting di kangan ulama. Hal yang demikian itu tidaklah mengherankan, jika melihat urgensi hadits dalam konstelasi ajaran Islam itu sendiri.
Sejarah mencatat bahwa hadits sampai kepada kita melalui sebuah proses transmisi yang solid dari zaman ke zaman. Dan dari proses transmisi inilah muncul benih-benih yang menjadi titik tolak perkembangan ilmu hadits. Ilmu hadits dalam perkembangannya terkelompokkan menjadi dua bagian penting, ilmu hadîts riwâyah dan ilmu hadîts dirâyah. Diantara keduanya itu, yang muncul pertama kali adalah ilmu hadîts riwâyah.
Kemunculannya ditandai dengan munculnya hadits yang pertama kali diriwayatkan dari Rasulullah Saw, yaitu hadits permulaan wahyu. Dari sinilah ilmu hadits riwâyah mulai di kenal, lalu berkembang seiring dengan proses transmisi yang berkesinambungan. Adapun ilmu hadîts dirâyah juga sudah mulai muncul sejak masa-masa awal proses transmisi. Hal yang demikian itu adalah sebuah keniscayaan, karena sebuah proses transmisi tidak akan berjalan dengan solid tanpa diiringi proses otentifikasi. Dan proses otentifikasi inilah yang membidani lahirnya ilmu hadîts dirâyah dengan berbagai cabangnya. Kemudian dari kedua kelompok ilmu hadits ini, kita akan mencoba untuk mengenal lebih jauh turats hadits dan sejarah perkembangannya dari masa ke masa.
Dalam makalah ini, saya akan mencoba untuk menguraikan sedikit tentang ilmu hadits dan sejarah perkembangannya, sebagai sebuah pengantar untuk mengenal lebih dalam turats hadits yang telah menghiasi hasanah keilmuan Islam. Pembahasan dalam makalah ini akan saya bagi menjadi dua bagian, yang pertama mengenai sejarah dan perkembangan ilmu hadits pra kodifikasi, dan yang kedua mengenai sejarah dan perkembangan ilmu hadits paska kodifikasi.
Sejarah dan perkembangan ilmu hadits pra kodifikasi
1. Ilmu hadîts riwâyah pra kodifikasi
Masa pra kodifikasi hadits dimulai dari sejak munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, sampai turunnya perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada para ulama untuk melakukan kodifikasi hadits. Dengan demikian, rentang waktu yang dilalui masa pra kodifikasi ini mencakup dua periode penting dalam sejarah transmisi hadits, yaitu periode kenabian dan periode sahabat. Pada dua periode ini metode transmisi yang digunakan kebanyakan adalah metode lisan. Meskipun demikian, tidak sedikit juga para sahabat yang melakukan pencatatan hadits secara personal, dan itu mendapatkan izin dari Rasulullah Saw. Benar pada permulaan turunnya wahyu, Rasulullah Saw pernah melarang para sahabat untuk mencatat selain al-Quran. Akan tetapi larangan tersebut bukanlah larangan yang bersifat mutlak, atau larangan tersebut merupakan larangan yang bersifat sementara, sampai para sahabat benar-benar dapat membedakan antara al-Quran dan yang lainnya. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa sahabat yang mendapatkan izin dari beliau untuk melakukan pencatatan hadits, seperti Abdullah bin Amr ra, Rafi' bin Khadij ra, Abu Syah dan yang lainnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada masa pra kodifikasi ini sebagian besar hadits telah ditransmisikan melalui lisan dan hafalan. Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi tingkat keotentikan hadits-hadits tersebut. Karena para sahabat yang menjadi agen transmiter dalam hal ini, disamping sosok mereka yang sangat loyal terhadap Rasul Saw dan terpercaya, mereka juga dikaruniai hafalan yang kuat, sehingga dengan itu, kemampuan mereka untuk mentransmisikan hadits dari Rasulullah Saw secara akurat tidak diragukan lagi. Selain itu, metode lisan ini juga tidak menafikan adanya sejumlah sahabat yang telah mentransmisikan hadits melalui catatan-catatan yang mereka buat. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya bebrerapa shahifah yang pernah ditulis pada rentang masa tersebut. Berikut ini adalah beberapa nama shahifah yang dimaksud,
1. Shahîfah ash-Shadiqah, ditulis oleh Abdullah bin Amr ra.
2. Shahîfah Jabir bin Abdullah ra.
3. Shahîfah Ali bin Abi Thalib ra.
4. Shahîfah Hammam bin Munabbih, ditulis oleh Hammam dari riwayat Abu Hurairah ra.
5. Shahîfah Samurah bin Jundub ra.
6. Shahîfah Sa'd bin Ubadah ra.
2. Ilmu hadits dirâyah pra kodifikasi
Pada masa pra kodifikasi ini, sudah mulai muncul benih-benih yang akan menjadi titik tolak berkembangnya ilmu hadîts dirâyah. Hal itu dapat dilihat dari sikap para sahabat yang sangat teliti dan hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Sikap tatsabbut yang diperlihatkan oleh para sahabat tersebut merupakan titik awal dalam sejarah perkembangan ilmu hadîts dirâyah. Kemudian paska terjadinya fitnah, sikap yang demikian itu semakin nampak ke permukaan. Hal itu telah digambarkan oleh Ibnu Abbas ra. dengan jelas, dia berkata, "Jika kami mendengar ada seseorang berkata, "Rasulullah Saw bersabda", maka kami langsung mendatanginya, dan mendengarkan apa yang dikatakannya. Lalu ketika orang-orang sudah mulai melakukan apa saja, tanpa membedakan antara hal yang terpuji dan yang tercela (paska terjadinya fitnah), maka kami tidak mengambil (hadits) dari mereka, kecuali apa yang kami tahu (kebenarannya)".
Sikap tatsabbut yang dikembangkan oleh para sahabat tersebut merupakan sebuah bentuk usaha otentifikasi hadits. Dan itu merupakan inti dari ilmu hadîts dirâyah itu sendiri. Karena ilmu hadîts dirâyah sebenarnya adalah bentuk aplikasi dari usaha otentifikasi yang dilakukan oleh para ulama.
Sejarah dan perkembangan ilmu hadits paska kodifikasi
1. Ilmu hadîts riwâyah paska kodifikasi
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (101 H.) merupakan aktor penting dalam sejarah kodifikasi hadits. Beliaulah orang yang pertama kali menyerukan secara resmi kepada semua ulama untuk mengumpulkan hadits-hadits yang masih terpencar dan mencatatnya dalam sebuah buku. Salah satu ulama yang beliau minta untuk melakukan hal itu adalah Ibnu Syihab az-Zuhri (125 H.) Kemudian setelah era az-Zuhri, gerakan kodifikasi terus mengalami perkembangan, sampai akhirnya mencapai masa keemasan pada abad ke tiga hijriyah. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan kodifikasi tersebut, para ulama tidaklah menempuh satu metode saja. Hal itu dapat kita ketahui melalui hasil-hasil karya mereka yang beragam selama kurun waktu paska kodifikasi tersebut. Masa awal kodifikasi banyak dari mereka yang menggunakan metode mushannafât, kemudian setelah itu muncul penulisan dengan metode masânid, lalu jawâmi' dan sunan, hingga abad keempat hijriyah muncul metode mustadrakât dan ma'âjim.
Berikut ini adalah beberapa karya besar para ulama paska kodifikasi, dari sejak awal masa kodifikasi, sampai pada abad keempat hijriyah.
Karya-karya ulama pada abad ke dua hijriyah,
1. as-Sunan, karya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (150 H)
2. as-Sunan, karya Muhammad bin Ishaq bin Yasar (151 H)
3. al-Jami', karya Ma'mar bin Rasyid (153 H)
4. al-Muwatha', karya Ibnu Abi Dzi'b (156 H)
5. as-Sunan, Ibnu Abi Arubah (157 H)
6. al-Muwatha', karya Malik bin Anas (179 H)
7. az-Zuhd, karya Abdullah ibnul Mubarak (181 H)
Dan masih banyak lagi, baik karya-karya yang sampai kepada kita atau pun yang tidak.
Karya-karya ulama pada abad ke tiga hijriyah,
1. Musnad Abu Dawud ath-Thayalisi (204 H)
2. Mushannaf Abdurrazaq, karya Abdurrazaq bin Hammam (211 H)
3. Musnad al-Humaidi (219 H)
4. as-Sunan, karya Sa'id bin Manshur (227 H)
5. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235 H)
6. Kutubuttis'ah minus al-Muwatha' Malik
7. Musnad Ishaq bin Rahuyah (238 H), dan yang lainnya.
Karya-karya Ulama abad ke empat hijriyah,
1. Shahih Ibnu Hibban (354 H)
2. Ma'ajim, as-Shaghir, al-Wasth dan al-Kabir, semuanya karya ath-Thabrani (360 H)
3. Sunan ad-Daruquthni (385 H)
4. Mustadrak al-Hakim (405 H), dan yang lainnya
2. Ilmu hadîts dirâyah paska kodifikasi
Ilmu hadîts dirâyah pada masa paska kodifikasi ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, seiring dengan berkembangnya ilmu hadîts riwâyah. Pada awal masa kodifikasi, ilmu ini diperkenalkan oleh para ulama secara tercampur dalam karya-karya mereka yang mempunyai kosentrasi lain, seperti ilmu riwâyah dan disiplin ilmu lainnya. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi'i dalam kitabnya ar-Risalah, kemudian Imam Muslim dalam Muqaddimah shahih-nya, dan juga Imam at-Tirmidzi dalam kitab ilal-nya. Baru kemudian pada abad keempat hijriyah datang Imam ar-Ramahurmuzi (360 H) yang membuat sebuah karya terpisah dalam kosentrasi ilmu dirâyah. Kitabnya yang berjudul al-Muhaddits al-Fâshil Bainar Râwî Wal Wâ'î merupakan kitab yang pertama kali ditulis secara terpisah dalam ilmu hadîts dirâyah. Kemudian setelah itu, satu persatu ulama mulai mulakukan kodifikasi secara terpisah terhadap ilmu hadîts dirâyah. Berikut ini adalah jadwal karya-karya ulama dalam disiplin ilmu ini,
Karya-karya pra Ibnu Shalah,
1. al-Muhaddits al-Fâshil Bainar Râwî Wal Wâ'î, karya ar-Ramahurmuzi (360 H)
2. Ma'rifatu Ulûmil Hadîts, karya al-Hakim (405 H)
3. al-Kifâyah Fi Ilmir Riwâyah, karya al-Khathib al-Baghdadi (463 H)
Karya-karya paska Ibnu Shalah,
1. Ma'rifatu Anwâ'i Ilmil Hadîts, karya Ibnu Shalah (643 H)
2. al-Iqtirah Fi Bayânil Ishthilâh, karya Ibnu Daqiq al-Id (702 H)
3. al-Mûqizhah, karya adz-Dzahabi (748 H)
4. Ikhtishâr Ulûmil Hadîts, karya Ibnu Katsir (774 H)
5. at-Taqyîd Wal Idhah, karya al-Iraqi (806 H)
6. Nuzhatun Nazhar, karya Ibnu Hajar (852 H)
7. Fathul Mughîts Syarhu Alfiyatil Hadîts, karya as-Sakhawi (902 H)
8. Tadrîbur Râwî, karya as-Suyuthi (911 H)
9. Taudhîhul Afkar Li Ma'ani Tanqîhul Atsar, karya ash-Shan'ani (1182 H), dan yang lainnya.
Penutup
Demikianlah makalah ini saya sampaikan, semoga dapat bermanfaat, dan memberikan gambaran singkat kepada kita tentang turats ilmu hadits. Adapun apa yang saya sampaikan ini tentu banyak kekurangannya, karena hanya sebatas apa yang saya ketahui. Dan khusus mengenai pembahasan ilmu dirâyah, saya senganja hanya membahas salah satu cabangnya saja, yaitu ilmu mushthalah, hal itu karena cabang-cabang yang lainnya membutuhkan pembahasan tersendiri, sehingga tidak mungkin untuk dijelaskan dalam satu makalah sekaligus. Wallahu a'lam bish shawab.
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif