Penegakan Pidana Mati, ini adalah foto hukuman mati yang dilakukan pemerintah Iran terhadap seorang penjahat.
* Oleh Yusriyadi
AKHIR-AKHIR ini jumlah vonis pidana mati banyak dijatuhkan. Data 1980-1987 menyebut 49 terpidana mati sudah dieksekusi. Kemudian data 1986-1990 mencatat 23 terpidana menjalani pidana mati.
Ada yang menarik dari data itu, yakni 80% dari terpidana mati adalah karena kasus kejahatan politik 1965 (Suara Merdeka, 11 Agustus 2008).
Mudah-mudahan tingginya pidana mati bagi kasus kejahatan politik itu bukan bersebab dari ketika hukum dipositifkan menjadi ius constitutum, lege atau lex, hukum telah berubah menjadi agenda politik penguasa.
Jumlah tersebut tentunya akan bertambah, sebab saat ini ada 118 terpidana sebagai daftar tunggu terancam dieksekusi. Dalam waktu dekat, jumlah tersebut akan semakin bertambah, terlebih jika seruan masyarakat untuk menjatuhkan pidana mati kasus kayu ilegal dan korupsi berujung lahirnya peraturan perundangan baru dengan sanksi pidana mati.
Prediksi itu tak berlebihan, sebab dalam kajian-kajian sosiologi hukum seruan tersebut dapat dipandang sebagai tahap inisiasi pembuatan undang undang (UU). Kalau benar terjadi, di samping menambah ancaman pidana mati dalam hukum positif yang menjadi rujukan normatifnya, bisa berimplikasi kepada bertambahnya calon-calon terpidana mati berikutnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menambah daftar pro dan kontra pidana mati, tapi lebih membicarakan bagaimana eksekusi pidana yang dalam praktinya boleh disebut ìmisteriusî.
Kontroversi
Di Indonesia, pidana mati semakin menarik. Di samping gencar dan berurutan, juga bersamaan dengan menguatnya kontroversi antara yang setuju dan yang tidak. Kontroversi boleh disebut telah mencapai puncaknya, namun ironisnya tak pernah berakhir.
Berkesan, kubu yang setuju lebih mendominasi dalam penegakan hukumnya. Argumen klasiknya, pidana mati masih relevan dan ada pijakan normatifnya dalam hukum positif. Kalau kesan itu benar, seakan membenarkan bahwa penegakan hukum di Indonesia selalu bergeming (tidak bergeser) dari pemikiran yang normatif.
Penegakan hukum, lebih bersikukuh pada persoalan law as what ought to be bukan pada law as what it is (functioning) in society. Itu artinya, lebih sekadar menitikberatkan kepada persoalan bagaimana pidana mati dalam hukum positif diterima dan diterapkan. Bukan pada apakah pidana mati benar-benar fungsional atau justru sebaliknya.
Penegakan hukum tetap tegar pada keyakinannya yang normatif, sehingga terbelenggu pada model praktik penegakan hukum yang didominasi oleh sifat aplikasi teknis, yaitu the does and the doníts —bagaimana hukum ditelusur dan diterapkan.
Taken for Granted
Secara normatif tak ada yang istimewa tentang pidana mati. Jenis pidana mati sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Berlanjut pada hukum positif kita, banyak peraturan perundang-undangan memuat ancaman pidana mati, mulai dari KUHP sampai peraturan perundangan lainnya.
Dengan sikap taken for granted, tak perlu mempersoalkan bilamana hakim menjatuhkan pidana mati. Secara sosiologis, dicantumkannya pidana mati dalam perundangan bisa dianggap lebih rasional dan dimungkinkan penerapannya selektif dan limitatif sehinga terhindar dari model penegakan hukum ”prasmananî.
Ironisnya, pidana mati dalam kajian hukum dianggap kurang menarik, bahkan lebih membatasi diri pada bagaimana pidana mati diterima dan diterapkan, tak lebih. Itulah yang mungkin menyebabkan ada pihak yang bersikukuh pada pendapatnya bahwa pidana (termasuk pidana mati) merupakan anak tiri ilmu hukum pidana.
Terlepas dari pro dan kontra, era penegakan hukum di Indonesia didominasi oleh pihak yang setuju pidana mati. Sekalipun tidak sepenuhnya setuju dengan pidana mati, ditemui bahwa kajian-kajian hukum selama ini telah berubah dan bergeser. Konsekuensinya, ke depan kajian-kajian hukum di Indonesia juga akan terkena imbasnya dan pasti diguncang oleh pergeseran dan perubahan tersebut.
Itulah, yang disebut sebagai gerakan-gerakan pembaharu. Tentunya itu semua akan membawa pengaruh tersendiri terhadap praktik penegakan hukumnya.
Kalau semula dalam ilmu hukum diajarkan bahwa pidana mati sebagai buah pengembangan teori absolut dan mengajarkan pentingnya efek jera (detterence effect), dalam perkembangannya ajaram itu digeser dan harus mengalah untuk digantikan dengan ajaran tentang pentingnya rehabilitasi terhadap terpidana. Terakhir muncul ajaran dengan orientasi masyarakat, termasuk korban kejahatan.
Keyakinan Hakim
Ada yang berpendapat, bahwa pidana mati menjauhkan hukum pidana yang berperikemanusiaan. Namun akhirnya yang terjadi bahwa semuanya toh kembali pada hakim.
Hakimlah yang harus menetapkan untuk dirinya sendiri, mana yang diyakini untuk dipilih, apakah setuju dengan pidana mati atau sebaliknya. Yang penting, hakim menyadari betul tentang makna pidana mati yang diputuskan.
Di samping itu, hakim juga harus sadar mengenai apa yang hendak dicapai dengan pidana yang dijatuhkan, bukan sekadar bahwa pidana mati diterapkan semata-mata karena ada dalam ius constitutum.
Manakala keyakinan itu tidak ada, mengapa hakim harus menerapkan pidana mati? Kemudian yang perlu dihindari adalah jangan sampai terjadi penegakan hukum yang jatuh pada domain politik. Yang dikhawatirkan —jangan sampai terjadi—, ketika dipositifkan menjadi ius constitutum, lege atau lex, hukum menjadi sebuah agenda politik penguasa.
Bagaimana pidana mati ditegakkan? Pada saat pemidanaan diyakini sebagai ajaran untuk menimbulkan efek jera, ternyata hukuman itu tidak menurunkan angka kejahatan.
Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan, tak ada yang menyebutkan ada korelasi positif antara pidana mati dan turunnya angka kejahatan. Yang terjadi justru sebaliknya, kejahatan selalu cenderung meningkat.
Sekalipun tidak bermaksud mengatakan bahwa ajaran aspek jera itu gagal, namun toh tetap digeser oleh ajaran rehabilitasi. Tujuannya, agar terpidana dapat kembali bersosialisasi dan diterima kembali oleh masyarakat.
Ironisnya, dengan pidana mati tujuan itu mustahil dapat dicapai. Mungkinkah terpidana mati dapat kembali dan bersosialisasi dengan masyarakatnya? Bahkan saya berkeyakinan, sebaik apa pun tujuan rehabilitasi telah tercapai sebelum eksekusi dilaksanakan, pidana mati tak pernah memberi kesempatan untuk menebus dosa dan melakukan kebaikan.
Dalam konteks yang berbeda, dapat dibenarkan ungkapan Booby Bowden (John C. Maxwell, 2004), bahwa yang tercapai adalah seseorang telah mati dan masuk ke liang kubur dengan kehidupan yang tidak digunakan.
Semakin Problematis
Bagaimana pidana mati ditegakkan, tampaknya semakin problematis dan akumulatif. Misalnya, digunakannya KUHP di Indonesia sejak Januari 1918, padahal 1870 Belanda sendiri menghapuskan pidana mati untuk kejahatan biasa.
Kemudian 1982, pidana mati dihapus untuk seluruh kejahatan. Secara normatif memang tidak menjadikan problem serius pada waktu KUHP digunakan hakim sebagai rujukannya. Dan tentunya itu akan berbeda dari aspek sosiologis yang melihat dalam konteks masyarakatnya.
Adagiumnya adalah bahwa hukum untuk masyarakat, bukan sebaliknya. Sekalipun ada seruan sebagian masyarakat untuk perlunya pidana dalam kasus korupsi, tidak menutup kemungkinan bahwa pidana mati tidak akan lebih efektif dan tidak akan lebih adil dibandinglam dengan pidana seumur hidup, misalnya.
Itulah sebabnya, harus diacungi jempol apa yang digagas oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk merancang baju khusus bagi tersangka, terdakwa, maupun terpidana kasus korupsi mendahului pidana dijatuhkan.
Sekalipun KPK masih mencari aspek legalnya, gagasan itu harus dipandang progresif untuk menimbulkan aspek jera dan aspek pencegahan untuk orang lain. Demikian juga gagasan menyita seluruh harta kekayaan koruptor, harus dipandang sebagai langkah progresif untuk membuat derita, jera, dan efektif, terhadap upaya pencegahan daripada harus dengan pidana mati.
Asumsi dasarnya adalah banyak orang yang lebih takut menjadi miskin atau lapar daripada takut mati.
Problematik penegakan pidana mati, juga menyangkut masalah prevensi general. Sekalipun UU 2/PNPS/1964 mengatur pelaksanaan pidana mati, namun yang terjadi setiap eksekusi pidana mati selalu dirahasiakan. Dalam konteks itu, tidak ada kejelasan tempat dan kapan eksekusi dilaksanakan. Akibatnya, selalu terjadi ”kucing-kucingan” antara aparat eksekusi, wartawan, dan publik.
Kalau memang diyakini bahwa prevensi general itu ada dan efektif untuk suatu tujuan, maka cara eksekusi yang selama ini mentradisi harus diubah. Misalnya, dari cara yang semula dirahasiakan diubah menjadi diumumkan atau disosialisasikan. Tempat eksekusi yang disembunyikan, diubah ke tempat umum agar masyarakat mengetahuinya.
Sekadar sebagai perbandingan, ada negara yang mempraktikkan cara demikian itu. Problemnya adalah, sudah siapkah cara itu dilakukan? Apakah tidak lebih problematik manakala dikaitkan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal bagi bangsa-bangsa yang mengaku beradab?
Daftar pertanyaan itu dapat diperpanjang, yang pada intinya menunjukkan bahwa pidana mati dan penegakannya selalu meninggalkan problem tersendiri.(68)
— Prof Dr Yusriyadi, guru besar sosiologi hukum pada Fakultas Hukum Undip Semarang.
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif