oleh: Firman Noor
Saat ini terjadi sebuah fenomena menarik dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Artis, sebagai bagian dari warga negara, ramai-ramai mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik untuk menduduki jabatan publik.
Dalam konteks sejarah politik bangsa, masuknya artis dalam kancah politik bukan sesuatu yang baru. Artis telah membanjiri kehidupan politik praktis, terutama sejak masa Orde Baru (1966-1998). Hampir semua partai politik saat itu punya unsur artis dalam aktivitas politiknya.
Tidak saja dalam kapasitasnya sebagai vote getter seperti Rhoma Irama di PPP, Harry de Fretes, Rano Karno untuk PDI atau beberapa artis safari yang berkampanye untuk Golkar, termasuk di antaranya Titiek Puspa, Camelia Malik, tetapi juga dalam kapasitas sebagai anggota badan legislatif seperti Rhoma Irama yang uniknya masuk ke dalam parlemen atas budi baik Golkar.
Fungsinya tidak saja dalam kapasitas penarik massa ataupun anggota Dewan, tetapi bahkan saat ini telah pula memasuki wilayah eksekutif meski baru pada wilayah lokal. Untung saja badan yudikatif, yang memang didisain eksklusif oleh para "penemu" demokrasi di Barat sejak awal, harus diisi oleh kalangan profesional di bidang hukum di mana kapabilitasnya lebih jelas dan terukur.
Seandainya tidak, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan seorang pelawak dalam jajaran hakim konstitusi atau pejabat penting di Mahkamah Agung.
Makhluk Visioner
Tidak ada sebuah syarat baku yang sama diterapkan di seluruh dunia untuk menguji kelayakan dan kepantasan seorang wakil rakyat.
Namun setidaknya dari semangat demokrasi, baik dalam makna normatif, prosedural ataupun substansial, diisyaratkan tiga karakteristik yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat, yakni memiliki kejelasan visi (vision), daya dukung publik yang memadai (acceptibility), dan rasa tanggung jawab (responsibility).
Ketiganya jelas syarat minimal untuk membentuk sebuah demokrasi yang rasional, kontekstual, dan bermoral. Dalam praktiknya, ketiga syarat itu tidak disematkan pada sekelompok orang tertentu. Bahkan dalam logika demokrasi, yang mengakui persamaan, semua orang dianggap mungkin untuk memiliki ketiganya.
Atas dasar pemahaman inilah secara substansial seorang artis sebagai seorang warga negara patut diperlakukan sama dengan kalangan lain yang memiliki profesi bukan artis. Persoalannya adalah apakah artis yang saat ini berputar haluan menjadi wakil rakyat memiliki kemampuan untuk memenuhi ketiga syarat itu? Tentu saja kita tidak bisa menghakimi seseorang dari kulit luarnya sebagaimana pepatah don't judge the book form the title.
Mungkin saja seorang artis itu memang benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Sementara belum tentu juga mereka yang bukan dari kalangan artis benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Terbukti mereka yang tertangkap melakukan korupsi dan dicap sebagai "politisi busuk" berasal dari beragam latar belakang profesi. Namun, tidak salah juga jika ada kalangan yang mengkhawatirkan masuknya artis dalam dunia perpolitikan kita.
Alasannya sederhana, dengan maraknya infotainment, sebenarnya gerak langkah artis sudah terpantau habis-habisan oleh publik. Dari informasi yang didapatkan itu, memang jarang sekali artis-artis tertangkap sedang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pengasahan kapabilitas sebagai seorang wakil rakyat.
Tidak ditemui sebelumnya misalnya artis seperti Wulan Guritno, Eko Patrio, atau Dicky Chandra sedang mengasah visi diri untuk menawarkan solusi konkret jangka pendek bagi rakyat, apalagi untuk menjawab sebuah pertanyaan serius "mau dibawa ke mana Indonesia lima puluh tahun kedepan?" Ada yang mengatakan segalanya akan dapat diatasi dengan learning by doing. Toh kebanyakan pejabat publik juga belum berpengalaman ketika menjabat.
Pandangan ini sekilas memang benar. Namun sejatinya salah. Sebab dalam konteks perpindahan profesi, yang melibatkan kemampuan, perasaan, dan pengorbanan yang demikian besar (great leap), dan pekerjaan itu secara esensial menyangkut hidup orang banyak, istilah learning by doing adalah sebuah keabsurdan.
Kalau Anda ingin menjadi ahli membuat kue, mungkin bisa ditempuh dalam beberapa hari, itu pun dengan risiko kegagalan paling hanya kue menjadi bantat atau gosong. Namun, kalau Anda ingin mendapatkan kemampuan mengurus jutaan orang dengan risiko makin meluasnya pengangguran dan hancurnya kesejahteraan atau bahkan runtuhnya sebuah bangsa, tentu Anda memerlukan waktu yang lebih lama untuk menjadi kampiun di bidang itu.
Masalahnya sederhana saja, apakah kita mau menyerahkan nasib kita kepada orang yang masih harus belajar banyak? Apakah kita mau disopiri oleh orang yang masih belum layak turun ke jalan?
Kenapa Bisa Terjadi?
Pertama, hal ini karena memang aturan main yang memungkikan hal itu. Prof Syamsuddin Haris (2008) mengindikasikan bahwa sistem pemilihan langsung memungkinkan popularitas berbicara banyak.
Di sinilah paradoks demokrasi. Karena suara rakyat ternyata bisa menjadi bencana ketika memilih orang yang tak kompeten. Sebagaimana yang dikhawatirkan Plato, alih-alih menjadi vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), fenomena ini lebih dekat kepada vox populi vox diaboli (suara rakyat suara setan).
Kedua, selain sistem pemilihan, tradisi politik bangsa ini turut menyumbang bagi munculnya fenomena artis berpolitik ini. Tradisi pertama adalah adanya "pertanggungjawaban kolektif" ketimbang "pertanggungjawaban individual" dalam ranah badan legislatif. Hal ini mengakibatkan keunggulan dan atau ketidakberesan seorang anggota Dewan ditanggung beramai-ramai oleh fraksi atau partai.
Dalam kondisi seperti itu, artis atau siapa pun yang tidak bisa bekerja dengan baik tidak terekspos dan bahkan dapat bersembunyi di ketiak fraksi dan teman-temannya. Sementara tradisi kedua adalah status "ban serep" bagi orang nomor dua pemerintahan. Tradisi ini memang mulai tergerus di tingkat nasional dan di beberapa daerah. Namun secara umum tradisi memberikan kerja-kerja seremonial (dan bukan substansial) kepada orang nomor dua itu masih berlaku di banyak daerah.
Akibat dari kondisi ini, tidak mengherankan jika posisi nomor dua menjadi incaran bagi mereka yang merasa populer tetapi memiliki kompetensi pemerintahan yang rendah. Dalam situasi seperti itulah, dapat dipahami kalau artis kemudian ramai-ramai merebut atau dianjurkan untuk merebut posisi "ban serep" itu.
Ketiga, hal lain yang turut bertanggung jawab akan fenomena artis berpolitik adalah partai politik itu sendiri. Sebagai institusi pengusung calon-calon pengisi jabatan publik, partai politik merupakan media yang bertanggung jawab bagi hadirnya pejabat publik dari kalangan artis.
Dengan pertimbangan untuk menggaet suara, partai saat ini mencari segala macam cara untuk mendongkrak popularitasnya dan meraih sebanyak mungkin jabatan publik. Sayangnya, dalam konteks mendukung artis untuk berpolitik praktis, memang tidak ada aturan main yang dilanggar oleh partai, selain mungkin aturan kaderisasi internalnya.
Partai politik lebih terfokus untuk bagaimana beriklan dan tampil seatraktif mungkin di depan publik tanpa harus berpusing-pusing apakah tawarannya itu realistis dan mampu benar-benar menjawab persoalan yang dihadapi rakyat. Semuanya itu memperlihatkan bahwa demokrasi kita belumlah mapan.
Demokrasi yang mengisyaratkan sebuah pemerintahan rasional, visioner, dan bertanggung jawab justru dijawab dengan menghadirkan makhluk-makhluk manis yang sejatinya hanya bisa mengumpulkan kerumunan orang untuk kemudian meninggalkannya dan tidak hanya artis. Fenomena bagaimana orang yang tidak berkompeten kemudian berani mengajukan diri ini terjadi di negara AS pada masa-masa awal berlangsungnya demokrasi di negara itu.
Pada masa itu istilah "demokrasi keblinger" menjadi demikian populer yang puncaknya terutama disulut dengan terpilihnya seorang bekas pembuat sepatu menjadi Wakil Gubernur New York (Gonick: 2008). Mungkin dalam hal ini kita bisa berlega hati. Karena memang ternyata demokrasi yang rasional memerlukan waktu yang tidak sebentar, sebagaimana yang juga dialami negara sekaliber AS. (*)
Firman Noor MA
Peneliti pada P2P LIPI dan Dosen Ilmu Politik FISIP UI
Saat ini terjadi sebuah fenomena menarik dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Artis, sebagai bagian dari warga negara, ramai-ramai mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik untuk menduduki jabatan publik.
Dalam konteks sejarah politik bangsa, masuknya artis dalam kancah politik bukan sesuatu yang baru. Artis telah membanjiri kehidupan politik praktis, terutama sejak masa Orde Baru (1966-1998). Hampir semua partai politik saat itu punya unsur artis dalam aktivitas politiknya.
Tidak saja dalam kapasitasnya sebagai vote getter seperti Rhoma Irama di PPP, Harry de Fretes, Rano Karno untuk PDI atau beberapa artis safari yang berkampanye untuk Golkar, termasuk di antaranya Titiek Puspa, Camelia Malik, tetapi juga dalam kapasitas sebagai anggota badan legislatif seperti Rhoma Irama yang uniknya masuk ke dalam parlemen atas budi baik Golkar.
Fungsinya tidak saja dalam kapasitas penarik massa ataupun anggota Dewan, tetapi bahkan saat ini telah pula memasuki wilayah eksekutif meski baru pada wilayah lokal. Untung saja badan yudikatif, yang memang didisain eksklusif oleh para "penemu" demokrasi di Barat sejak awal, harus diisi oleh kalangan profesional di bidang hukum di mana kapabilitasnya lebih jelas dan terukur.
Seandainya tidak, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan seorang pelawak dalam jajaran hakim konstitusi atau pejabat penting di Mahkamah Agung.
Makhluk Visioner
Tidak ada sebuah syarat baku yang sama diterapkan di seluruh dunia untuk menguji kelayakan dan kepantasan seorang wakil rakyat.
Namun setidaknya dari semangat demokrasi, baik dalam makna normatif, prosedural ataupun substansial, diisyaratkan tiga karakteristik yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat, yakni memiliki kejelasan visi (vision), daya dukung publik yang memadai (acceptibility), dan rasa tanggung jawab (responsibility).
Ketiganya jelas syarat minimal untuk membentuk sebuah demokrasi yang rasional, kontekstual, dan bermoral. Dalam praktiknya, ketiga syarat itu tidak disematkan pada sekelompok orang tertentu. Bahkan dalam logika demokrasi, yang mengakui persamaan, semua orang dianggap mungkin untuk memiliki ketiganya.
Atas dasar pemahaman inilah secara substansial seorang artis sebagai seorang warga negara patut diperlakukan sama dengan kalangan lain yang memiliki profesi bukan artis. Persoalannya adalah apakah artis yang saat ini berputar haluan menjadi wakil rakyat memiliki kemampuan untuk memenuhi ketiga syarat itu? Tentu saja kita tidak bisa menghakimi seseorang dari kulit luarnya sebagaimana pepatah don't judge the book form the title.
Mungkin saja seorang artis itu memang benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Sementara belum tentu juga mereka yang bukan dari kalangan artis benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Terbukti mereka yang tertangkap melakukan korupsi dan dicap sebagai "politisi busuk" berasal dari beragam latar belakang profesi. Namun, tidak salah juga jika ada kalangan yang mengkhawatirkan masuknya artis dalam dunia perpolitikan kita.
Alasannya sederhana, dengan maraknya infotainment, sebenarnya gerak langkah artis sudah terpantau habis-habisan oleh publik. Dari informasi yang didapatkan itu, memang jarang sekali artis-artis tertangkap sedang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pengasahan kapabilitas sebagai seorang wakil rakyat.
Tidak ditemui sebelumnya misalnya artis seperti Wulan Guritno, Eko Patrio, atau Dicky Chandra sedang mengasah visi diri untuk menawarkan solusi konkret jangka pendek bagi rakyat, apalagi untuk menjawab sebuah pertanyaan serius "mau dibawa ke mana Indonesia lima puluh tahun kedepan?" Ada yang mengatakan segalanya akan dapat diatasi dengan learning by doing. Toh kebanyakan pejabat publik juga belum berpengalaman ketika menjabat.
Pandangan ini sekilas memang benar. Namun sejatinya salah. Sebab dalam konteks perpindahan profesi, yang melibatkan kemampuan, perasaan, dan pengorbanan yang demikian besar (great leap), dan pekerjaan itu secara esensial menyangkut hidup orang banyak, istilah learning by doing adalah sebuah keabsurdan.
Kalau Anda ingin menjadi ahli membuat kue, mungkin bisa ditempuh dalam beberapa hari, itu pun dengan risiko kegagalan paling hanya kue menjadi bantat atau gosong. Namun, kalau Anda ingin mendapatkan kemampuan mengurus jutaan orang dengan risiko makin meluasnya pengangguran dan hancurnya kesejahteraan atau bahkan runtuhnya sebuah bangsa, tentu Anda memerlukan waktu yang lebih lama untuk menjadi kampiun di bidang itu.
Masalahnya sederhana saja, apakah kita mau menyerahkan nasib kita kepada orang yang masih harus belajar banyak? Apakah kita mau disopiri oleh orang yang masih belum layak turun ke jalan?
Kenapa Bisa Terjadi?
Pertama, hal ini karena memang aturan main yang memungkikan hal itu. Prof Syamsuddin Haris (2008) mengindikasikan bahwa sistem pemilihan langsung memungkinkan popularitas berbicara banyak.
Di sinilah paradoks demokrasi. Karena suara rakyat ternyata bisa menjadi bencana ketika memilih orang yang tak kompeten. Sebagaimana yang dikhawatirkan Plato, alih-alih menjadi vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), fenomena ini lebih dekat kepada vox populi vox diaboli (suara rakyat suara setan).
Kedua, selain sistem pemilihan, tradisi politik bangsa ini turut menyumbang bagi munculnya fenomena artis berpolitik ini. Tradisi pertama adalah adanya "pertanggungjawaban kolektif" ketimbang "pertanggungjawaban individual" dalam ranah badan legislatif. Hal ini mengakibatkan keunggulan dan atau ketidakberesan seorang anggota Dewan ditanggung beramai-ramai oleh fraksi atau partai.
Dalam kondisi seperti itu, artis atau siapa pun yang tidak bisa bekerja dengan baik tidak terekspos dan bahkan dapat bersembunyi di ketiak fraksi dan teman-temannya. Sementara tradisi kedua adalah status "ban serep" bagi orang nomor dua pemerintahan. Tradisi ini memang mulai tergerus di tingkat nasional dan di beberapa daerah. Namun secara umum tradisi memberikan kerja-kerja seremonial (dan bukan substansial) kepada orang nomor dua itu masih berlaku di banyak daerah.
Akibat dari kondisi ini, tidak mengherankan jika posisi nomor dua menjadi incaran bagi mereka yang merasa populer tetapi memiliki kompetensi pemerintahan yang rendah. Dalam situasi seperti itulah, dapat dipahami kalau artis kemudian ramai-ramai merebut atau dianjurkan untuk merebut posisi "ban serep" itu.
Ketiga, hal lain yang turut bertanggung jawab akan fenomena artis berpolitik adalah partai politik itu sendiri. Sebagai institusi pengusung calon-calon pengisi jabatan publik, partai politik merupakan media yang bertanggung jawab bagi hadirnya pejabat publik dari kalangan artis.
Dengan pertimbangan untuk menggaet suara, partai saat ini mencari segala macam cara untuk mendongkrak popularitasnya dan meraih sebanyak mungkin jabatan publik. Sayangnya, dalam konteks mendukung artis untuk berpolitik praktis, memang tidak ada aturan main yang dilanggar oleh partai, selain mungkin aturan kaderisasi internalnya.
Partai politik lebih terfokus untuk bagaimana beriklan dan tampil seatraktif mungkin di depan publik tanpa harus berpusing-pusing apakah tawarannya itu realistis dan mampu benar-benar menjawab persoalan yang dihadapi rakyat. Semuanya itu memperlihatkan bahwa demokrasi kita belumlah mapan.
Demokrasi yang mengisyaratkan sebuah pemerintahan rasional, visioner, dan bertanggung jawab justru dijawab dengan menghadirkan makhluk-makhluk manis yang sejatinya hanya bisa mengumpulkan kerumunan orang untuk kemudian meninggalkannya dan tidak hanya artis. Fenomena bagaimana orang yang tidak berkompeten kemudian berani mengajukan diri ini terjadi di negara AS pada masa-masa awal berlangsungnya demokrasi di negara itu.
Pada masa itu istilah "demokrasi keblinger" menjadi demikian populer yang puncaknya terutama disulut dengan terpilihnya seorang bekas pembuat sepatu menjadi Wakil Gubernur New York (Gonick: 2008). Mungkin dalam hal ini kita bisa berlega hati. Karena memang ternyata demokrasi yang rasional memerlukan waktu yang tidak sebentar, sebagaimana yang juga dialami negara sekaliber AS. (*)
Firman Noor MA
Peneliti pada P2P LIPI dan Dosen Ilmu Politik FISIP UI
Comments
Post a Comment
Silahkan Komentar Yg Positif